Minggu, 19 Juli 2009

Banyak Istri... Banyak Rejeki

“Bagaimana keadaanmu hari ini wahai fulan?”, tanya
Rasulullah pada suatu hari kepada salah seorang
sahabatnya. “Alhamdulillah, baik ya Rasulullah, tapi kalau
boleh kami mengadukan kepadamu, kami masih mengalami
kekurangan dalam hal ekonomi”. “Oh ya, kalau demikian
menikahlah,” kata Rasulullah SAW. “Tapi Ya Rasulullah…
bukankah kami sudah beristri,” Jawab Rasulullah: “Ya … nikahlah”.
Hal yang demikian terjadi sampai sahabat tadi sudah beristri
dengan tiga orang wanita, tapi jawaban Rasulullah tetap sama.
Maka pada lain kali ketika sahabat tadi berjumpa kembali dengan
Rasulullah, keadaannya sudah berubah jadi berkecukupan
dengan memiliki empat orang istri. (Al-Hadits)
Sepenggal kisah dialog antara Rasulullah dengan sahabat
tadi barangkali cukup menggelitik untuk diambil pelajaran.
Pelajaran yang dapat diambil dari kisah hadits ini paling tidak ada
beberapa hal:
Pertama, nilai ketaqwaan
Indikasi ini dapat dilihat dari kesiapan sahabat tadi untuk
mengikuti dan mematuhi perintah Rasulullah. Artinya selera dan
keinginan hawa nafsu disesuaikan dengan keinginan dan
kemauan Allah dan RasululNya. “Maka demi Allah yang jiwaku
ditanganNya. Tidak sempurna iman seseorang diantara kamu
sampai menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku
bawa.” (HR.Bukhari).
Dengan kesiapan moral yang demikian, banyak kita temukan
peristiwa yang menakjubkan. Dalam kisah yang ditemukan
diantara para sahabat, Abu Bakar Ash Shiddiq misalnya, mampu
menginfaqkan seluruh hartanya, Ali bin Abi Thalib mampu tidur di
tempat tidur Rasulullah ketika Rasulullah dalam kepungan musuhmusuhnya
pada peristiwa hijrah. Dan kejadian-kejadian itu akan
terus terjadi dalam kehidupan kita ini jika kita menjadikan taqwa
sebagai basis dalam semua permasalahan.
Barangkali akan aneh dalam kehidupan modern sekarang
ini, seorang istri pertama melamarkan istri kedua untuk suaminya,
Jawaban semua itu ada pada kesiapan, mendahulukan
kepentingan Allah dan RasululNya. ”Barang siapa bertaqwa
kepada Allah niscaya Dia kan mengadakan baginya jalan keluar.
Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka”
(QS.At-Thalaq/65:2-3).
Kedua, nilai keluwesan & keluasan Syariat Islam
Keluwesan Islam, artinya bahwa ajaran dan nilai Islam dapat
dilaksanakan dan diterapkan pada semua kondisi masa lalu dan
masa kini. Syariat Islam sangat cocok untuk hidup dan kehidupan di
dunia dan baik bagi semua manusia, laki-laki dan wanita, orang kaya
dan orang miskin. Barangkali untuk contoh diatas, bahkan seorang
yang nota bene adalah miskin, justru dianjurkan untuk menikah
kembali oleh Rasulullah.
Keluasan Islam tidak akan ditemukan jika hanya didekati dengan
pemikiran (akal) saja, akan tetapi harus dipadukan antara hati (iman)
dan akal sehat. Sebab kemampuan otak manusia sangat terbatas,
dan banyak persoalan yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan
pendekatan keilmuan saja. Sebagaimana sabda Rasulullah, “Tiga
golongan yang berhak mendapatkan pertolongan dari Allah Ta’ala
yaitu budak yang berjanji menebus dirinya dari majikannya dengan
penuh iman kepada Allah, maka Allah mewajibkan diriNya untuk
membelanya dan membantu seorang laki-laki yang ingin menikah
supaya menjauhkan diri dari hal-hal yang diharamkan Allah (zina),
maka Allah mewajibkan diriNya untuk menolong dan memberinya
rezeki”. (HR.Dailami)
Dalam hal poligami misalnya, dorongan seks itu ada pada semua
laki-laki, baik dia kaya maupun miskin, sebab memang demikianlah
fitrah penciptaan manusia. Ingatkah kita, ketika seorang sahabat
mengadukan kepada Rasulullah bahwa dia telah melakukan
hubungan suami istri pada siang hari di bulan Ramadhan. Siapakah
sahabat tadi, “ternyata” seorang yang kehidupan ekonominya paspasan,
Kifarat yang seharusnya dia bayar adalah infak kepada fakir
miskin-orang lain-, akhirnya kembali jatuh kepada dirinya sendiri.
Memang demikianlah adanya, Islam itu indah. Jika ada orang takut
kawin (karena) alasan materi, Allah menjawab dalam Al-Qur’an: “Dan
kawinilah orang-orang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang
layak (kawin), dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan.
Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-
Nya, Dan Allah Maha luas (pemberianNya) dan Maha Mengetahui,”.
(QS.An-Nur/24:32).
Dari Sa’id bin Jubair, ia berkata: “Ibnu Abbas bertanya kepadaku:
“Apakah engkau telah menikah?” Aku menjawab “Belum”, ia berkata:
”Menikahlah, karena sesungguhnya sebaik-baik orang Islam adalah
yang lebih banyak istrinya” (HR. Bukhari dan Ahmad).
Ketiga, nilai sosial kemasyarakatan
Perubahan tingkat ekonomi sahabat dalam kisah diatas diduga
adalah ketika Allah mempertemukan sahabat tadi dengan istri
keempatnya yang seorang pengusaha. Artinya barangkali hikmah
yang ingin Allah dan Rasul ajarkan adalah adanya suatu
kehidupan yang saling melengkapi antara satu dengan lainnya.
Sementara firman Allah SWT.: ”Kaum laki-laki adalah pemimpin
bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian
mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita)...” (QS. An.
Nisa/4:3-4)
Kehidupan rumah tangga antara suami istri adalah kehidupan
hubungan timbal balik yang saling melengkapi dan
menyempurnakan. Maka ketika seseorang belum memiliki
pasangan, berarti belum sempurna hidupnya, sebab nikah itu
separoh dari agama, bahkan kesempurnaannya dikaitkan dengan
kehidupan beragamanya. Sebagaimana sabda Rasulullah “
Barangsiapa yang dikarunia seorang Istri yang solehah berarti ia
telah membantunya menyempurnakan setengah dari agamanya,
maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah pada setengah yang
lainnya”. (HR.Anas bin Malik r.a)
Lantas pertanyaan kebanyakan para suami pasti kalau
menambah istri lagi, lalu bagaimana dengan nafkah kepada anak
dan istri-istrinya ? Satu saja sakit apalagi dua, tiga atau empat.
Maka orang yang secara materi tidak berkecukupan tapi akhlaknya
baik, dan layak kawin harus yakin, Allah akan memampukan
mereka dengan karuniaNya (QS.Qn-Nur:32)
Poligami sebagai salah satu dari ketentuan Allah yang
dihalalkan bagi kaum laki-laki dan tentunya pasti berguna bagi
para perempuan. Karena sunnatullah sepanjang zaman,
perempuan akan selalu lebih banyak jumlahnya dari laki-laki, maka
jangan menganggap poligami itu keuntungan atau kesenangan
bagi kaum laki-laki, tetapi merupakan beban tugas berat yang
mulia bagi kaum laki-laki yang harus dihadapi dalam rangka
berbagi-bagi kepemimpinan kepada perempuan – perempuan lain
yang membutuhkan kepemimpinannya agar berprestasi menjadi
khalifah Allah di muka bumi. Maka suami tidak boleh menganggap
bahwa jika dia menghadapi kesulitan hidup dengan seorang istri,
maka akan lebih sulit lagi kehidupannya bila dia beristri lagi (pindah
tugas baru), artinya setelah tugas pertama selesai dan sukses
atau bisa mensolehahkan atau mengislamkan perasaan istrinya.
Maka seorang istri juga dituntut berbuat adil ketika memiliki
seorang suami yang siap menjadi pemimpin, tentunya secara
kesalehan sosial dan tidak monopoli, sebaiknya harus mau
berbagi kepemimpinan suaminya kepada perempuan lain yang
membutuhkan kepemimpinannya.

http://www.wongsolo.com/puspo2.pdf

2 komentar: