Senin, 20 April 2009

Kisah Wanita Yang Selalu Berbicara Dengan Bahasa Al-Qur'an

Kisah Wanita Yang Selalu Berbicara Dengan Bahasa Al-Qur'an
Kategori : Hikmah
Rabu, 07 Juni 2006 @ 22:16:26



Berkata Abdullah bin Mubarak Rahimahullahu Ta'ala :
Saya berangkat menunaikan Haji ke Baitullah Al-Haram, lalu berziarah ke makam Rasulullah sallAllahu 'alayhi wasallam. Ketika saya berada disuatu sudut jalan, tiba-tiba saya melihat sesosok tubuh berpakaian yang dibuat dari bulu. Ia adalah seorang ibu yang sudah tua. Saya berhenti sejenak seraya mengucapkan salam untuknya. Terjadilah dialog dengannya beberapa saat.

Dalam dialog tersebut wanita tua itu , setiap kali menjawab pertanyaan Abdulah bin Mubarak, dijawab dengan menggunakan ayat-ayat Al-Qur'an. Walaupun jawabannya tidak tepat sekali, akan tetapi cukup memuaskan, karena tidak terlepas dari konteks pertanyaan yang diajukan kepadanya.

Abdullah : "Assalamu'alaikum warahma wabarakaatuh."
Wanita tua : "Salaamun qoulan min robbi rohiim." (QS. Yaasin : 58) (artinya : "Salam sebagai ucapan dari Tuhan Maha Kasih")

Abdullah : "Semoga Allah merahmati anda, mengapa anda berada di tempat ini?"
Wanita tua : "Wa man yudhlilillahu fa la hadiyalahu." (QS : Al-A'raf : 186 ) ("Barang siapa disesatkan Allah, maka tiada petunjuk baginya")


Dengan jawaban ini, maka tahulah saya, bahwa ia tersesat jalan.

Abdullah : "Kemana anda hendak pergi?"
Wanita tua : "Subhanalladzi asra bi 'abdihi lailan minal masjidil haraami ilal masjidil aqsa." (QS. Al-Isra' : 1) ("Maha suci Allah yang telah menjalankan hambanya di waktu malam dari masjid haram ke masjid aqsa")


Dengan jawaban ini saya jadi mengerti bahwa ia sedang mengerjakan haji dan hendak menuju ke masjidil Aqsa.

Abdullah : "Sudah berapa lama anda berada di sini?"
Wanita tua : "Tsalatsa layaalin sawiyya" (QS. Maryam : 10) ("Selama tiga malam dalam keadaan sehat")

Abdullah : "Apa yang anda makan selama dalam perjalanan?"
Wanita tua : "Huwa yut'imuni wa yasqiin." (QS. As-syu'ara' : 79) ("Dialah pemberi aku makan dan minum")

Abdullah : "Dengan apa anda melakukan wudhu?"
Wanita tua : "Fa in lam tajidu maa-an fatayammamu sha'idan thoyyiban" (QS. Al-Maidah : 6) ("Bila tidak ada air bertayamum dengan tanah yang bersih")

Abdulah : "Saya mempunyai sedikit makanan, apakah anda mau menikmatinya?"
Wanita tua : "Tsumma atimmus shiyaama ilallaiil." (QS. Al-Baqarah : 187) ("Kemudian sempurnakanlah puasamu sampai malam")
Abdullah : "Sekarang bukan bulan Ramadhan, mengapa anda berpuasa?"
Wanita tua : "Wa man tathawwa'a khairon fa innallaaha syaakirun 'aliim." (QS. Al-Baqarah : 158) ("Barang siapa melakukan sunnah lebih baik")

Abdullah : "Bukankah diperbolehkan berbuka ketika musafir?"
Wanita tua : "Wa an tashuumuu khoirun lakum in kuntum ta'lamuun." (QS. Al-Baqarah : 184) ("Dan jika kamu puasa itu lebih utama, jika kamu mengetahui")

Abdullah : "Mengapa anda tidak menjawab sesuai dengan pertanyaan saya?"
Wanita tua : "Maa yalfidhu min qoulin illa ladaihi roqiibun 'atiid." (QS. Qaf : 18) ("Tiada satu ucapan yang diucapkan, kecuali padanya ada Raqib Atid")

Abdullah : "Anda termasuk jenis manusia yang manakah, hingga bersikap seperti itu?"
Wanita tua : "Wa la taqfu ma laisa bihi ilmun. Inna sam'a wal bashoro wal fuaada, kullu ulaaika kaana 'anhu mas'ula." (QS. Al-Isra' : 36) ("Jangan kamu ikuti apa yang tidak kamu ketahui, karena pendengaran, penglihatan dan hati, semua akan dipertanggung jawabkan")

Abdullah : "Saya telah berbuat salah, maafkan saya."
Wanita tua : "Laa tastriiba 'alaikumul yauum, yaghfirullahu lakum." (QS.Yusuf : 92) ("Pada hari ini tidak ada cercaan untuk kamu, Allah telah mengampuni kamu")

Abdullah : "Bolehkah saya mengangkatmu untuk naik ke atas untaku ini untuk melanjutkan perjalanan, karena anda akan menjumpai kafilah yang di depan."
Wanita tua : "Wa maa taf'alu min khoirin ya'lamhullah." (QS Al-Baqoroh : 197) ("Barang siapa mengerjakan suatu kebaikan, Allah mengetahuinya")


Lalu wanita tua ini berpaling dari untaku, sambil berkata :

Wanita tua : "Qul lil mu'miniina yaghdudhu min abshoorihim." (QS. An-Nur : 30) ("Katakanlah pada orang-orang mukminin tundukkan pandangan mereka")

Maka saya pun memejamkan pandangan saya, sambil mempersilahkan ia mengendarai untaku. Tetapi tiba-tiba terdengar sobekan pakaiannya, karena unta itu terlalu tinggi baginya. Wanita itu berucap lagi.

Wanita tua : "Wa maa ashobakum min mushibatin fa bimaa kasabat aidiikum." (QS. Asy-Syura' 30) ("Apa saja yang menimpa kamu disebabkan perbuatanmu sendiri")

Abdullah : "Sabarlah sebentar, saya akan mengikatnya terlebih dahulu."
Wanita tua : "Fa fahhamnaaha sulaiman." (QS. Anbiya' 79) ("Maka kami telah memberi pemahaman pada nabi Sulaiman")

Selesai mengikat unta itu sayapun mempersilahkan wanita tua itu naik.

Abdullah : "Silahkan naik sekarang."
Wanita tua : "Subhaanalladzi sakhkhoro lana hadza wa ma kunna lahu muqriniin, wa inna ila robbinaa munqolibuun." (QS. Az-Zukhruf : 13-14) ("Maha suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini pada kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. Sesungguhnya kami akan kembali pada tuhan kami")

Sayapun segera memegang tali unta itu dan melarikannya dengan sangat kencang. Wanita tua itu berkata lagi.

Wanita tua : "Waqshid fi masyika waghdud min shoutik" (QS. Lukman : 19) ("Sederhanakan jalanmu dan lunakkanlah suaramu")

Lalu jalannya unta itu saya perlambat, sambil mendendangkan beberapa syair, Wanita tua itu berucap.

Wanita tua : "Faqraa-u maa tayassara minal qur'aan" (QS. Al- Muzammil : 20) ("Bacalah apa-apa yang mudah dari Al-Qur'an")

Abdullah : "Sungguh anda telah diberi kebaikan yang banyak."
Wanita tua : "Wa maa yadzdzakkaru illa uulul albaab." (QS Al-Baqoroh : 269) ("Dan tidaklah mengingat Allah itu kecuali orang yang berilmu")

Dalam perjalanan itu saya bertanya kepadanya.

Abdullah : "Apakah anda mempunyai suami?"
Wanita tua : "Laa tas-alu 'an asy ya-a in tubda lakum tasu'kum" (QS. Al-Maidah : 101) ("Jangan kamu menanyakan sesuatu, jika itu akan menyusahkanmu")

Ketika berjumpa dengan kafilah di depan kami, saya bertanya kepadanya.

Abdullah : "Adakah orang anda berada dalam kafilah itu?"
Wanita tua : "Al-maalu wal banuuna zinatul hayatid dunya." (QS. Al-Kahfi : 46) ("Adapun harta dan anak-anak adalah perhiasan hidup di dunia")

Baru saya mengerti bahwa ia juga mempunyai anak.

Abdullah : "Bagaimana keadaan mereka dalam perjalanan ini?"
Wanita tua : "Wa alaamatin wabin najmi hum yahtaduun" (QS. An-Nahl : 16) ("Dengan tanda bintang-bintang mereka mengetahui petunjuk")

Dari jawaban ini dapat saya fahami bahwa mereka datang mengerjakan ibadah haji mengikuti beberapa petunjuk. Kemudian bersama wanita tua ini saya menuju perkemahan.

Abdullah : "Adakah orang yang akan kenal atau keluarga dalam kemah ini?"
Wanita tua : "Wattakhodzallahu ibrohima khalilan" (QS. An-Nisa' : 125) ("Kami jadikan ibrahim itu sebagai yang dikasihi") "Wakallamahu musa takliima" (QS. An-Nisa' : 146) ("Dan Allah berkata-kata kepada Musa") "Ya yahya khudil kitaaba biquwwah" (QS. Maryam : 12) ("Wahai Yahya pelajarilah alkitab itu sungguh-sungguh")

Lalu saya memanggil nama-nama, ya Ibrahim, ya Musa, ya Yahya, maka keluarlah anak-anak muda yang bernama tersebut. Wajah mereka tampan dan ceria, seperti bulan yang baru muncul. Setelah tiga anak ini datang dan duduk dengan tenang maka berkatalah wanita itu.

Wanita tua : "Fab'atsu ahadaku bi warikikum hadzihi ilal madiinati falyandzur ayyuha azkaa tho'aaman fal ya'tikum bi rizkin minhu." (QS. Al-Kahfi : 19) ("Maka suruhlah salah seorang dari kamu pergi ke kota dengan membawa uang perak ini, dan carilah makanan yang lebih baik agar ia membawa makanan itu untukmu")

Maka salah seorang dari tiga anak ini pergi untuk membeli makanan, lalu menghidangkan di hadapanku, lalu perempuan tua itu berkata :

Wanita tua : "Kuluu wasyrobuu hanii'an bima aslaftum fil ayyamil kholiyah" (QS. Al-Haqqah : 24) ("Makan dan minumlah kamu dengan sedap, sebab amal-amal yang telah kamu kerjakan di hari-hari yang telah lalu")

Abdullah : "Makanlah kalian semuanya makanan ini. Aku belum akan memakannya sebelum kalian mengatakan padaku siapakah perempuan ini sebenarnya."

Ketiga anak muda ini secara serempak berkata :

"Beliau adalah orang tua kami. Selama empat puluh tahun beliau hanya berbicara mempergunakan ayat-ayat Al-Qur'an, hanya karena khawatir salah bicara."


Maha suci zat yang maha kuasa terhadap sesuatu yang dikehendakinya. Akhirnya saya pun berucap :

"Fadhluhu yu'tihi man yasyaa' Wallaahu dzul fadhlil adhiim." (QS. Al-Hadid : 21) ("Karunia Allah yang diberikan kepada orang yang dikehendakinya, Allah adalah pemberi karunia yang besar")

[Disarikan oleh: DHB Wicaksono, dari kitab Misi Suci Para Sufi, Sayyid Abubakar bin Muhammad Syatha, hal. 161-168] dari Situs Al-Muhajir


sumber :kebun hikmah

Islamnya Napoleon Bonaparte

Islamnya Napoleon Bonaparte
Kategori : Hidayah & Kisah Mualaf
Kamis, 15 Juni 2006 @ 04:49:56



Siapa yang tidak mengenal Napoleon Bonaparte, seorang Jendral dan Kaisar Prancis yang tenar kelahiran Ajaccio, Corsica 1769. Namanya terdapat dalam urutan ke-34 dari Seratus Tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah yang ditulis oleh Michael H. Hart.

Sebagai seorang yang berkuasa dan berdaulat penuh terhadap negara Prancis sejak Agustus 1793, seharusnya ia merasa puas dengan segala apa yang telah diperolehnya itu.

Tapi rupanya kemegahan dunia belum bisa memuaskan batinnya, agama yang dianutnya waktu itu ternyata tidak bisa membuat Napoleon Bonaparte merasa tenang dan damai.

Akhirnya pada tanggal 02 Juli 1798, 23 tahun sebelum kematiannya ditahun 1821, Napoleon Bonaparte menyatakan ke-Islamannya dihadapan dunia Internasional.

Apa yang membuat Napoleon ini lebih memilih Islam daripada agama lamanya, Kristen ?

Berikut penuturannya sendiri yang pernah dimuat dimajalah Genuine Islam, edisi Oktober 1936 terbitan Singapura.

"I read the Bible; Moses was an able man, the Jews are villains, cowardly and cruel. Is there anything more horrible than the story of Lot and his daughters ?"

"The science which proves to us that the earth is not the centre of the celestial movements has struck a great blow at religion. Joshua stops the sun ! One shall see the stars falling into the sea... I say that of all the suns and planets,..."

"Saya membaca Bible; Musa adalah orang yang cakap, sedang orang Yahudi adalah bangsat, pengecut dan jahat. Adakah sesuatu yang lebih dahsyat daripada kisah Lut beserta kedua puterinya ?" (Lihat Kejadian 19:30-38)

"Sains telah menunjukkan bukti kepada kita, bahwa bumi bukanlah pusat tata surya, dan ini merupakan pukulan hebat terhadap agama Kristen. Yosua menghentikan matahari (Yosua 10: 12-13). Orang akan melihat bintang-bintang berjatuhan kedalam laut.... saya katakan, semua matahari dan planet-planet ...."

Selanjutnya Napoleon Bonaparte berkata :
"Religions are always based on miracles, on such things than nobody listens to like Trinity. Yesus called himself the son of God and he was a descendant of David. I prefer the religion of Muhammad. It has less ridiculous things than ours; the turks also call us idolaters."


"Agama-agama itu selalu didasarkan pada hal-hal yang ajaib, seperti halnya Trinitas yang sulit dipahami. Yesus memanggil dirinya sebagai anak Tuhan, padahal ia keturunan Daud. Saya lebih meyakini agama yang dibawa oleh Muhammad. Islam terhindar jauh dari kelucuan-kelucuan ritual seperti yang terdapat didalam agama kita (Kristen); Bangsa Turki juga menyebut kita sebagai orang-orang penyembah berhala dan dewa."

Selanjutnya :
"Surely, I have told you on different occations and I have intimated to you by various discourses that I am a Unitarian Musselman and I glorify the prophet Muhammad and that I love the Musselmans."


"Dengan penuh kepastian saya telah mengatakan kepada anda semua pada kesempatan yang berbeda, dan saya harus memperjelas lagi kepada anda disetiap ceramah, bahwa saya adalah seorang Muslim, dan saya memuliakan nabi Muhammad serta mencintai orang-orang Islam."

Akhirnya ia berkata :
"In the name of God the Merciful, the Compassionate. There is no god but God, He has no son and He reigns without a partner."


"Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tiada Tuhan selain Allah. Ia tidak beranak dan Ia mengatur segala makhlukNya tanpa pendamping."

Napoleon Bonaparte mengagumi AlQuran setelah membandingkan dengan kitab sucinya, Alkitab (Injil). Akhirnya ia menemukan keunggulan-keunggulan Al-Quran daripada Alkitab (Injil), juga semua cerita yang melatar belakanginya.


Referensi :
1. Memoirs of Napoleon Bonaparte by Louis Antoine Fauvelet de Bourrienne edited by R.W. Phipps. Vol. 1 (New York: Charles Scribner's Sons, 1889) p. 168-169.
http://chnm.gmu.edu/revolution/d/612/
2. 'Napoleon And Islam' by C. Cherfils. ISBN: 967-61-0898-7
http://www.shef.ac.uk/~ics/whatis/articles/napoleon.htm
3. Satanic Voices - Ancient and Modern by David M. Pidcock, (1992 ISBN: 1-81012-03-1), it states on page 61, that the then official French Newspaper, Le Moniteur, carried the accounts of his conversion to Islam, in 1798 C.E


sumber :http://www.kebunhikmah.com/article-detail.php?artid=56

Sedekah Yang Salah Alamat

Sedekah Yang Salah Alamat



Suatu ketika, Rasulullah Saw., seperti yang kerap beliau laku­kan, berbincang-bincang dengan para sahabat di serambi Masjid Nabawi, Madinah. Selepas berbagi sapa dengan me­reka, beliau berkata kepada mereka,
"Suatu saat ada seorang pria berkata kepada dirinya sendiri, 'Malam ini aku akan bersedekah!' Dan, benar, malam itu juga dia memberikan sedekah kepada seorang perempuan yang tak dikenalnya. Ternyata, perempuan itu seorang pezina. Sehingga, keja­dian itu menjadi perbincangan khalayak ramai.

"Akhirnya, kabar tersebut sampai juga kepada pria itu. Mendengar kabar yang demikian, pria itu bergumam, 'Ya Allah! Segala puji hanya bagi-Mu.Ternyata, sedekahku jatuh ke tangan seorang pezina. Karena itu, aku akan bersedekah lagi!'

"Maka, pria itu kemudian mencari seseorang yang menu­rutnya layak menerima sedekah. Ternyata, penerima sede­kah itu, tanpa diketahuinya, adalah orang kaya. Sehingga, kejadian itu lagi-lagi menjadi perbincangan khalayak ramai, lalu sampai juga kepada pria yang bersedekah itu.

"Mendengar kabar yang demikian, pria itu pun bergu­mam,'Ya Allah! Segala puji hanya bagi-Mu. Ternyata, sede­kahku itu jatuh ke tangan orang kaya. Karena itu, aku akan bersedekah lagi!'

Maka, dia kemudian, dengan cermat, men­cari seseorang yang menurutnya layak menerima sedekah. Ternyata, penerima sedekah yang ketiga, tanpa diketahui­nya, adalah seorang pencuri. Tak lama berselang, kejadian itu menjadi perbincangan khalayak ramai, dan kabar itu sampai kepada pria yang bersedekah itu.

Mendengar kabar demikian, pria itu pun mengeluh, 'Ya Allah! Segala puji ha­nya bagi-Mu! Ya Allah, sedekahku ternyata jatuh ke tangan orang-orang yang tak kuduga: pezina, orang kaya, dan pen­curi!'

"Pria itu kemudian didatangi (malaikat utusan Allah) yang berkata, "Sedekahmu telah diterima Allah. Bisa jadi pezina itu akan berhenti berzina karena menerima sedekah itu. Bisa jadi pula orang kaya itu mendapat pelajaran karena sedekah itu, lalu dia menyedekahkan sebagian rezeki yang dikaru­niakan Allah kepadanya. Dan, bisa jadi pencuri itu berhenti mencuri selepas menerima sedekah itu."



(Diceritakan kembali dari sebuah hadis yang dituturkan oleh Muslim dan Abu Hurairah dalam Teladan indah Rasullulah dalam ibadah, Ahmad Rofi 'Usmani)

sumber :http://www.kebunhikmah.com/article-detail.php?artid=154

Hikmah Sedekah: Mendahulukan Ibu (Ortu)

[daarut-tauhiid] Hikmah Sedekah: Mendahulukan Ibu (Ortu)
Ima Azzahra
Tue, 05 Sep 2006 09:45:11 -0700

Mendahulukan Ibu

Ibu Yeni, seorang anggota DPR mengisahkan pengalamannya mengenai sedekah yang
membawa keberkahan baginya. Kejadian ini dialaminya sekitar bulan Agustus tahun
2001 yang lalu. Saat itu ia mendapat undangan seminar di Sumatra Selatan.
Karena masih masa nifas dan membawa anak bungsunya yang kala itu masih berusia
35 hari, ia memutuskan membawa ibunya.

Bukan main senangnya sang ibu dibawa pelesiran naik pesawat. Maklum saja,
tahun 1972 waktu naik haji, ia cuma naik kapal laut. Di pesawat tak henti
ibunda tercintanya menyatakan kesenangannya naik pesawat.

“Alhamdulillah... kesampaian juga Ibu naik pesawat,��� syukurnya. Yeni
yang duduk di sebelahnya tersenyum.
“Coba Buya (ayah) masih hidup ya... dia pasti senang naik pesawat kayak
gini,��� tuturnya lagi dengan mata berkaca-kaca. Yeni menoleh dan
mengusap pundak ibunda tercintanya.

“Sudahlah Bu, Buya pasti sudah bahagia sekarang. Selama hidup Buya kan sangat
baik, maka Allah pasti melimpahkan kebahagiaan padanya...���
“Yah...��� Ibu menganguk-angguk, “Buya emang baik....���
lanjutnya sendu.
Tidak lama kemudian mereka tiba di bandara dan diantar oleh panitia ke sebuah
penginapan yang sederhana. Ibunya nampak sangat bahagia. Untuk menyenangkan
hatinya, Yeni memesankan makanan kesukaannya.

“Dimakan, Bu...��� kata Yeni. Ibunya mengangguk dan mulai makan dengan
lahap.

Keesokan harinya saat Yeni ikut seminar, Ibu menjaga cucunya yang masih merah
di penginapan. Seminar itu untunglah tidak begitu lama. Jeda makan siang,
mereka diajak makan di sebuah restoran khas Sumatra Selatan. Konon restoran ini
biasa ditongkrongi oleh para pejabat dari pusat.

Memang suasananya sangat asri, bertingkat dua, dan Subhanallah makanan yang
tersaji juga terasa sangat nikmat.
“Pepes ikan dengan duriannya enak sekali, Yen...��� Ibu memberikan
penilaian seraya makan dengan lahap.

“Kalau di Tangerang, daerah kita durian cuma untuk Kinca teman makan ketan
ya, ternyata buat pepes juga enak,��� imbuhnya kemudian.
“Alhamdulillah... kita di sini jadi nambah ilmu kan, Bu?��� balas Yeni
tersenyum.

Selesai makan, mereka menuju penginapan lagi untuk berkemas. Ya, mereka harus
kembali ke Jakarta hari itu juga. Sebelum berangkat, Yeni memeriksa sebuah
bungkusan yang diberikan panitia saat seminar tadi.

“Subhanallah... bagus amat nih kain sutra?��� desisnya takjub sambil
menyidik bahan itu dengan teliti. Yeni bertekad akan menjahitnya setiba di
Jakarta nanti.

Saking indahnya kain tersebut, di pesawatpun Yeni tak kuasa membayangkannya.
Menjahitnya menjadi baju muslimah yang indah yang akan dikenakannya pada
event-event tertentu. Tapi sejenak kemudian hati kecilnya berkata, “Berikan
saja pada ibumu....���

“Bagaimana, ya.... bagus banget sih?��� sekilas bathinnya tak rela.
Rupanya syetan sedang merasuki niat baiknya.
“Sudah... kasih Ibu saja, supaya dia senang, kamu kan bisa beli nanti
lagi...��� hati kecilnya kembali berkata.

Sejenak Yeni merasa bimbang. Terus-terang saja, ia sangat ingin memiliki
bahan itu untuk dirinya. Sudah dibayangkannya begitu manisnya ia dalam balutan
baju berbahan sutra itu. Suaminya pasti memuji, anak-anaknya pasti juga bangga.
Tapi...

“Ah, sudahlah biar untuk ibuku saja,��� hati kecilnya memenangkan
pergolakan bathin.
Maka Yeni memberikan kain sutra itu pada ibunya. Mata ibunya bersinar
menerima pemberian itu. Paras bahagia yang tak bisa ditutupinya. Yeni tak
menyesal memberikannya.

Sesampainya di Jakarta, Yeni kembali mengisi hari-harinya dengan seabreg
aktivitas yang menunggunya. Ia sudah tak teringat lagi kain sutra indah
pemberian panitia seminar di Sumatra Selatan itu. Sampai dua hari kemudian
seorang temannya kembali dari Malaysia dan membawa titipan dari teman Yeni,
yang orang asli Malaysia.

“Apaan ini?��� Yeni mengerutkan dahinya, menatap bungkusan yang
diberikan temannya itu.

“Titipan dari teman Malaysiamu, aku nggak tahu isinya, buka aja
gih...���
Tanpa menunggu lama, Yeni membuka bungkusan itu dan
terbelalak,���Subhanallah bagus banget....��� serunya takjub.
Temannya pun ternganga.

Selembar bahan sutra yang lebih halus dan lembut warnanya...
“Benar-benar Allah Maha Besar...��� Yeni berbisik pelan.

Kain sutranya telah digantikan oleh Allah dengan yang lebih bagus dan manis.
Yeni kemudian teringat sebuah hadits Rasulullah Saw, bahwa kebaikan yang cepat
mendapatkan balasannya di dunia adalah kebaikan kita kepada orang tua....

Sumber: Wisata Hati.

Tambahan:
Ada cerita dr seorang sahabat, pengalaman dia ketika berbuat baik kepada
orang tua balasannya terasa di dunia ini.
Setiap dia memberikan uang kepada orang tuanya, tidak berapa lama dia pasti
mendapatkan rizki yang tidak berapa lama dengan jumlah yang sama atau lebih
besar.

Pengalaman dia waktu Haji juga menarik.
Waktu masih remaja sahabat ini sudah bercita2 untuk naik Haji. Kemudian awal
bekerja sudah mulai menabung, namun belum cukup uangnya sudah diambil untuk
keperluan lain. Suatu saat ayahnya mengungkapkan ingin naik Haji dengan uang
pensiunnya, namun dengan adanya Krisis Moneter ONH melonjak, sehingga
diperkirakan peniun ayahnya tidak mencukupi, kemudian ayahnya menabung lagi
untuk mencukupinya. Sahabat tsb membantu mengirim uang untuk tabungan Haji
ayahnya. Walaupun sahabat ini berniat untuk menabung untuk Haji sendiri, namun
ia lebih mengutamakan ayahnya. Ternyata Allah memberikan rizki sehingga
tabungan dia & ayahnya cukup untuk pergi Haji. Kemudian selain itu sahabat tsb
ingin menguruskan semua keperluan Haji Ayahnya, dan ternyata banyak kendala
yang dihadapinya. Kemudian dia inisiatif untuk sedekah, supaya niat untuk pergi
Haji bersama orangtuanya dimudahkan. Lagi2 Allah menunjukkan fadhilah sedekah,
setelah itu semua urusan pergi Haji lancar, bahkan sahabat & ortunya
dapat pergi Haji dengan ONH plus dengan harga yang hampir sama dengan ONH
biasa. Waktu di perjalanan ayahnya begitu takjub dengan berbagai fasilitas ONH
plus tsb. Pertama kali naik pesawat, dapat pesawat & pelayanan yang bagus,
begitu juga di waktu di tanah suci dapat hotel *5, baru pertamakalinya beliau
temui. Betapa senangnya orangtuanya tersebut, dan sahabat ini juga bahagia
menlihat orangtuanya bahagia bisa beribadah Haji dengan menikmati fasilitas
yang bagus. Subhanalloh.

Ada lagi pengalamannya waktu ayahnya ingin sekali memiliki komputer. Kakaknya
menjanjikan akan memberikan komputernya, namun tak kunjung dikasihnya.
Kebetulan ada komputer sahabat tsb yang sudah dipakai setelah dia
menyelesaikan TA-nya. Kemudian diberikannya komputer tsb pada ayahnya. Tidak
berapa lama dia dapat laptop dari kantornya.
Subhanalloh.
Kebaikan kepada orang tua Allah membalasnya langsung di dunia ini.



sumber :http://www.mail-archive.com/daarut-tauhiid@yahoogroups.com/msg01361.html

Nabi Muhammad dan Pengemis Yahudi Buta

Nabi Muhammad dan Pengemis Yahudi Buta
POSTED BY yadie on 17:46 under Renungan
Alkisah…di ujung sudut pasar Madinah Al Munawarah ada seorang pengemis Yahudi buta. Hari demi hari, apabila ada orang yang mendekatinya, dia selalu berkata, "wahai saudaraku jangan dekati Muhammad, dia itu pembohong, dia itu orang gila, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya".

Tetapi tanpa disadari oleh sang pengemis Yahudi buta, setiap paginya Rasulullah Muhammad SAW mendatanginya dengan membawa makanan, tanpa berkata sepatah kata pun.

Rasulullah SAW selalu menyuapi makanan yang dibawanya kepada pengemis itu, walaupun pengemis itu selalu berpesan agar tidak mendekati orang yang bernama Muhammad. Begitulah yang dilakukan oleh baginda Nabi pada setiap hari sehingga ajal datang menjemput kekasih Allah SWT itu.

Setelah wafatnya Rasulullah Muhammad SAW, tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu.

Suatu hari sahabat Abu Bakar r.a berkunjung ke rumah anaknya, Siti Aisyah r.a. Beliau bertanya kepada anaknya, "Wahai anakku, adakah sunnah kekasihku Muhammad yang belum aku kerjakan," ujar sang ayah.

Siti Aisyah r.a pun menjawab pertayaan ayahnya, “Wahai ayahanda, engkau adalah seorang ahli sunnah dan hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum ayahanda lakukan kecuali satu sunnah saja".

"Apakah itu anakku?", tanya Abu Bakar r.a. Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung sudut pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana," kata Aisyah r.a.

Keesokan harinya, sahabat Abu Bakar r.a pun pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikannya kepada pengemis itu. Abu Bakar r.a mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan itu kepadanya.

Ketika Abu Bakar r.a mulai menyuapinya, si pengemis itu marah sambil berteriak, "siapakah kamu?". Abu Bakar r.a menjawab, "aku orang yang biasa yang menyuapimu". "Bukan!, engkau bukan orang yang biasa mendatangiku," jawab si pengemis Yahudi buta itu. Apabila dia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah.

Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tetapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut dengan tangannya setelah itu baru dia berikan kepada aku dengan tangannya sendiri," ujar pengemis itu melanjutkan perkataannya.

Abu Bakar r.a tidak dapat menahan derai air matanya, dia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, “aku memang bukan orang yang biasa datang padamu” tegasnya. Aku adalah salah seorang daripada sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada lagi. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW.

Setelah pengemis itu mendengar cerita Abu Bakar r.a, sang pengemis Yahudi buta pun menangis, lalu berkata, benarkah demikian?, selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, dan dia tidak pernah memarahiku sedikitpun, malah dia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi. Oh tuhanku, dia begitu mulia....

Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya mengucapkan syahadat dihadapan Abu Bakar r.a. dan menyatakan keislamannya.


sumber :http://matahatidantelinga.blogspot.com/2009/01/nabi-muhammad-dan-pengemis-yahudi-buta.html

Minggu, 19 April 2009

Mengejar Dunia dengan Amalan Akhirat adalah Kesyirikan

Rabu, 25 Maret 2009 - 20:01:57, Penulis : Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman
Kategori : Akidah

Mengejar Dunia dengan Amalan Akhirat adalah Kesyirikan


Slogan ‘waktu adalah uang’ telah demikian mendarah daging dalam hidup mayoritas manusia serta menjadi prinsip yang mengiringi aktivitas mereka. Bukan sekadar slogan yang kosong dari makna, karena berbagai macam cara pun akan ditempuh manusia untuk mengejar apa yang dinamakan dengan uang. “Gunung kan kudaki, lautan kan kuseberangi. Lembah akan kulalui, bahkan mati akan kuhadapi,” kata mereka.
Ada manusia, yang tak peduli siang ataupun malam, terus-menerus waktunya disibukkan dengan mencari uang. Para wanita sampai melelang kehormatannya, menjatuhkan martabatnya karenanya juga. Ringkasnya, hidup adalah uang.
Para pedagang, pekerja, dan pengusaha, berusaha meramal hidupnya melalui paranormal juga karena uang yang akan dikejar. Mereka ngalap berkah di kuburan tertentu, juga untuk mendapatkan penghasilan dan jalan hidup yang beruntung, menurut mereka. Berkunjung ke tempat-tempat keramat dengan mempersembahkan berbagai jenis sesaji juga karenanya.
Maka sangat ironis jika seseorang berbicara tentang agama juga karena tujuan yang sama dengan mereka. Mereka melelang ayat-ayat Al-Qur’an dan sabda-sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan harga yang sangat murah.
فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلاً فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُونَ
“Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: ‘Ini dari Allah’, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan.” (Al-Baqarah: 79)
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلَ اللهُ مِنَ الْكِتَابِ وَيَشْتَرُونَ بِهِ ثَمَنًا قَلِيلاً أُولَئِكَ مَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ إِلاَّ النَّارَ وَلاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat serta tidak menyucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih.” (Al-Baqarah: 174)
وَإِذْ أَخَذَ اللهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلاَ تَكْتُمُونَهُ فَنَبَذُوهُ وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ وَاشْتَرَوْا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلاً فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi Kitab (yaitu): ‘Hendaklah kamu menerangkan isi Kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya.’ Lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang mereka terima.” (Ali ‘Imran: 187)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu menyatakan: “Orang-orang yang diberikan Al-Kitab dari kalangan Yahudi, Nasrani, dan yang serupa dengan mereka, melemparkan janji-janji ini di belakang punggung mereka. Mereka tidak memedulikan janji-janji tersebut. Mereka menyembunyikan kebenaran dan menampilkan kebatilan. Mereka berani melanggar keharaman Allah Subhanahu wa Ta’ala, meremehkan hak-hak Allah Subhanahu wa Ta’ala serta hak makhluk-Nya. Dengan cara menyembunyikan tersebut, mereka juga membeli kedudukan dan harta benda dengan harga yang sedikit dari para pengikutnya serta orang-orang yang mengutamakan syahwat daripada kebenaran.” (Taisir Al-Karimirrahman, 1/160)

Siapakah Budak Dunia?
Kata “budak” telah dipakai oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyebut orang-orang yang telah diperbudak oleh dunia di dalam sebuah sabdanya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَعَبْدُ الدِرْهَمِ وَعَبْدُ الْخَمِيْصَةِ، إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ وَإِنْ لَمْ يُعْطَ سَخِطَ
“Celaka budak dinar, budak dirham, dan budak khamishah (suatu jenis pakaian). Apabila diberi dia ridha dan bila tidak diberi dia murka.” (HR. Al-Bukhari no. 2887 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Budak dinar adalah orang yang mencarinya dengan semangat tinggi. (Bila mendapatkannya), dia menjaganya seolah-olah dia menjadi khadim, pembantu, dan budak. Ath-Thibi rahimahullahu berkata: ‘Dikhususkan kata budak untuk menggelarinya, karena dia berkubang dalam cinta kepada dunia serta segala bentuk syahwatnya, layaknya seorang tawanan yang tidak memiliki upaya untuk melepaskan dirinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan malik (pemilik), tidak pula orang yang menghimpun dinar, karena yang tercela adalah mengumpulkan melebihi dari yang dibutuhkan’.” (Fathul Bari, 18/249)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikannya sebagai budak dinar dan dirham karena kerakusan serta semangatnya untuk mendapatkannya. Barangsiapa menjadi budak hawa nafsunya, maka dia tidak akan bisa mewujudkan pada dirinya makna ayat ﭢ ﭣ . (Hanya kepada-Mu lah kami beribadah). Orang yang seperti ini sifatnya tidak akan menjadi orang shadiq (terpercaya)… Dan dikhususkan penyebutan keduanya (dinar dan dirham), karena keduanya adalah asal harta benda dunia berikut segala kenikmatannya. (Tuhfatul Ahwadzi, 6/161)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata: “Perkataan yang mengandung pujian akan menyenangkan pencari kedudukan –dengan cara batil–, sekalipun kalimat itu adalah batil. Dia juga akan murka dengan sebab sebuah perkataan, sekalipun perkataan itu benar. Adapun orang yang beriman, kalimat yang haq akan menjadikan dia ridha baik kalimat itu mendukung atau menghujatnya. Sebaliknya, menjadikan kalimat batil akan menyebabkannya murka, baik kalimat itu menguntungkannya ataupun tidak. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai yang haq, kejujuran, dan keadilan. Bila dikatakan kebenaran, kejujuran, dan keadilan yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia akan mencintainya sekalipun menyelisihi keinginan hawa nafsunya karena hawa nafsunya mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila diucapkan suatu kezaliman, kedustaan, dan hal yang dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka orang yang beriman akan membencinya sekalipun sesuai hawa nafsunya. Demikian juga kondisi pencari harta –dengan cara yang batil– sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمِنْهُمْ مَنْ يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُوا مِنْهَا رَضُوا وَإِنْ لَمْ يُعْطَوْا مِنْهَا إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ
“Di antara mereka ada yang mencelamu dalam hal shadaqah. Jika mereka diberi mereka senang dan jika tidak diberi mereka benci.” (At-Taubah: 58)
Mereka itulah yang telah disebut oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabda beliau: ‘Celaka budak dinar’.” (Az-Zuhd wal Wara’ wal ‘Ibadah, 1/38)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata setelah menyebutkan tipe-tipe manusia yang rakus dengan dunia: “Permasalahan dunia (bagi manusia) ada dua bentuk. Di antaranya:
(Pertama) Perkara yang dibutuhkan oleh setiap orang sebagaimana butuhnya dia terhadap makan, minum, tempat tinggal, menikah, dan sebagainya. Dia meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mencarinya di sisi-Nya, sehingga harta di hadapannya bagaikan keledai yang dikendarainya, atau bagaikan permadani yang dia duduk padanya, atau bahkan seperti WC di mana dia menunaikan hajat tanpa adanya unsur perbudakan diri. Namun dia akan banyak berkeluh kesah bila tertimpa kejelekan, dan menjadi kikir apabila mendapatkan kesenangan.
(Kedua) Perkara yang manusia tidak membutuhkannya. Dalam perkara yang seperti ini, janganlah seseorang menggantungkan hatinya kepadanya. Bila dia menggantungkan hatinya kepadanya, niscaya dia akan menjadi budaknya. Bahkan terkadang dia akan terjatuh pada perbuatan menggantungkan diri kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam kondisi ini, tidak tersisa lagi pada dirinya hakikat beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak pula hakikat tawakkal. Bahkan dalam dirinya terdapat bentuk pengabdian kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bertawakkal kepada selain-Nya. Dialah yang paling berhak mendapatkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Telah celaka budak dinar, budak dirham, budak qathifah (sejenis beludru), dan budak khamishah’.
Dialah budak semua hal ini. Jika dia memintanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala lantas Dia memberinya, dia akan ridha. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberinya, dia akan murka.
Sedangkan hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala sejati ialah orang yang membuatnya ridha semua yang membuat Allah Subhanahu wa Ta’ala ridha, dan membuatnya murka apa-apa yang membuat Allah Subhanahu wa Ta’ala murka. Dia mencintai apa yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, serta akan murka terhadap apa yang dimurkai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia berloyalitas kepada wali-wali Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menentang musuh-musuh-Nya. Inilah yang menyempurnakan iman, sebagaimana di dalam hadits:
مَنْ أَحَبَّ لِلهِ وَأَبْغَضَ لِلهِ وَأَعْطَى لِلهِ وَمَنَعَ لِلهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ الْإِيْمَانَ
“Barangsiapa cinta karena Allah dan membenci karena Allah, memberi karena-Nya dan tidak memberi juga karena-Nya, maka dia telah menyempurnakan iman.”
أَوْثَقُ عُرَى الْإِيْمَانِ الْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ
“Ikatan iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah." (Al-‘Ubudiyyah, 1/25)

Mencari Dunia dengan Amalan Akhirat adalah Syirik
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu menulis sebuah bab dalam Kitab At-Tauhid “Bab: Termasuk dari kesyirikan adalah menginginkan dunia dengan amalan akhirat.”
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh rahimahullahu berkata: “Yang beliau maksud dengan judul ini adalah bahwa beramal untuk mendapatkan dunia adalah syirik yang akan menafikan kesempurnaan tauhid yang wajib dan membatalkan amalan (syirik kecil, ed.). Hal ini lebih besar daripada dosa riya’. Karena niatan untuk mendapatkan dunia telah menguasai keinginannya pada mayoritas amalannya, sedangkan riya’ hanya pada satu amalan saja dan tidak masuk dalam amalan yang lain. Riya’ juga tidak terus-menerus ada bersama amalan. Orang yang beriman harus berhati-berhati dari semua ini.” (Fathul Majid, 2/625)
Bukan sesuatu yang baru bagi kaum muslimin jika Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengharamkan kesyirikan. Bahkan mereka mengetahui bahwa syirik adalah dosa yang paling besar. Akan tetapi tahukah mereka segala rincian syirik? Tentu, jawabannya adalah tidak. Hal ini disebabkan banyak faktor. Di antaranya kejahilan (ketidaktahuan) mereka tentang aqidah yang benar. Juga adanya penyakit taqlid buta dan fanatik serta sikap ghuluw (berlebihan) dalam menyikapi orang-orang shalih. (‘Aqidah At-Tauhid karya Asy-Syaikh Shalih Fauzan. hal. 16)
Para ulama Ahlus Sunnah telah menjelaskan macam-macam syirik yang terangkum dalam dua macam: syirik yang akan mengeluarkan dari Islam yang disebut dengan syirik besar; dan syirik yang tidak mengeluarkan dari Islam yang disebut dengan syirik kecil.
Termasuk dalam kategori syirik kecil adalah beramal karena ingin mendapatkan dunia. Seperti seseorang yang berhaji, menjadi muadzin, atau menjadi imam karena ingin mendapatkan materi, atau belajar ilmu dan berjihad juga untuk mendapatkan materi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Telah celaka hamba dinar dan dirham. Telah celaka hamba khamishah dan khamilah (jenis-jenis pakaian). Jika diberi dia ridha dan jika tidak diberi dia benci.” (‘Aqidah At-Tauhid hal. 98)
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Syirik dalam iradah (keinginan) dan niat bagaikan laut tak bertepi. Sedikit sekali orang yang selamat darinya. Maka barangsiapa yang dengan amalnya menginginkan selain wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala, meniatkan sesuatu selain mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala serta selain mendapatkan balasan dari-Nya, sungguh dia telah melakukan kesyirikan dalam niat dan keinginannya. Sedangkan ikhlas adalah dia mengikhlaskan untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam perbuatannya, ucapan, keinginan, dan niatnya. Ini adalah hanifiyyah, agama Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan hamba-Nya untuk mengikutinya dan tidak akan diterima agama selainnya. Ini juga merupakan hakikat Islam, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali ‘Imran: 85)
Inilah agama Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang barangsiapa membencinya, dia termasuk orang yang paling dungu.” (Al-Jawabul Kafi, hal. 115)

Contoh Mencari Dunia dengan Amalan Akhirat
a. Ulama
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (At-Taubah: 34)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu menjelaskan: “Ini merupakan peringatan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada segenap kaum mukminin bahwa mayoritas ulama Yahudi dan pendeta Nasrani –artinya, ulama dan ahli ibadah– memakan harta manusia dengan cara batil, yakni dengan cara tidak benar. Mereka juga menghalangi (manusia) dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya jika mereka mendapatkan gaji dari harta manusia atau manusia menyisihkan harta benda mereka untuknya, maka hal itu disebabkan ilmu dan ibadah mereka. Juga karena bimbingan yang mereka berikan. Namun mereka mengambil semuanya dan menghalangi manusia dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga pengambilan upah yang mereka lakukan dengan cara demikian adalah sebuah kezaliman. Karena orang tidak akan mengorbankan harta bendanya melainkan agar mereka terbimbing ke jalan yang lurus.” (Taisirul Karimirrahman, hal. 296)

b. Da’i
Mungkinkah seorang da’i akan terjatuh dalam kesyirikan? Jawabannya adalah sangat mungkin. Terlebih jika sang da’i adalah orang yang tidak memiliki aqidah yang benar dan manhaj yang lurus. Dia bisa menjadikan dakwahnya dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits sebagai jembatan untuk mendapatkan: kedudukan di hati manusia, sanjungan dan pujian dari mereka, mencari pengikut yang banyak, serta mencari uluran tangan mereka.
Karena menurut mereka, jalan inilah yang paling mudah dan tidak membutuhkan kerja keras, peras keringat banting tulang untuk mendapatkannya. Barangsiapa yang niatnya demikian, baik seorang alim, kyai, da’i, atau lainnya, maka dia telah terjatuh dalam perbuatan syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. (lihat gambaran ini dalam Fathul Majid hal. 453-454)

c. Politikus
Bukan sesuatu yang aneh bagi seorang politikus untuk melontarkan pernyataan-pernyataan dengan menyitir dalil-dalil baik dari Al-Qur’an atau As-Sunnah. Terlebih lagi bila dia tadinya seorang da’i yang kemudian terjun ke dunia politik. Yang ada adalah, pertama, bagaimana mengumpulkan massa; dan kedua, mengumpulkan dana. Ujung-ujungnya adalah mencari kedudukan di mata manusia.
Dalam syarah Fadhlul Islam disebutkan terjadinya penyimpangan dari ash-shirath al-awwal (jalan yang lurus) adalah karena di tengah umat muncul politik yang jahat dan zalim, yang telah melencengkan hukum-hukum agama. Karena politik inilah, ahli ilmu, para hakim, dan ahli fatwa memberikan fatwanya sesuai dengan kemaslahatan negara atau kelompok.

Untaian Indah dari Al-Imam Ibnul Qayyim
Al-Imam Ahmad rahimahullahu berkata: Sayyar telah menceritakan kepadaku: Ja’far telah menceritakan kepadaku: Aku telah mendengar Malik bin Dinar rahimahullahu berkata: “Berhati-hatilah kalian dari wanita penyihir. Berhati-hatilah kalian dari wanita penyihir. Berhati-hatilah dari wanita penyihir, karena mereka telah menyihir hati-hati ulama.”
Yahya bin Mu’adz Ar-Razi rahimahullahu berkata: “Dunia adalah khamrnya setan. Barangsiapa mabuk karenanya, maka dia tidak akan sadar sampai kematian menjemput dalam keadaan menyesal di tengah orang-orang yang merugi. Sedangkan bentuk cinta yang paling ringan kepada dunia adalah melalaikan dari cinta dan dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Barangsiapa yang harta bendanya telah melalaikannya dari dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sungguh dia termasuk orang yang merugi. Bila hati lalai dari berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, niscaya hati itu akan ditempati oleh setan, yang kemudian akan memalingkannya sesuai kehendaknya…
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Tiadalah setiap orang di dunia ini melainkan sebagai tamu dan hartanya adalah pinjaman. Tentunya, tamu itu akan berangkat pergi dan pinjaman itu akan kembali kepada pemiliknya.”
Mereka (para ulama) berkata: “Cinta dunia dianggap sebagai kepala kerusakan. Dia akan merusak agama dari banyak sisi. Pertama, mencintai dunia akan membuahkan pengagungan terhadapnya, sementara dunia itu rendah di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mengagungkan apa yang telah dihinakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala termasuk dosa yang paling besar. Kedua, Allah Subhanahu wa Ta’ala melaknat, membenci dan murka terhadap dunia dan segala yang ada padanya (kecuali hal-hal yang diperuntukkan bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala). Barangsiapa yang mencintai apa yang dilaknat, dibenci, dan dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia telah melemparkan dirinya kepada laknat, kebencian, dan kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketiga, jika dia mencintainya, tentu dia menjadikan dunia itu sebagai tujuannya. Dia akan mencari jalan kepadanya dengan amalan-amalan yang sebenarnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan sebagai sarana (wasilah yang mengantarkan) kepada-Nya dan kampung akhirat.” (‘Uddatush Shabirin wa Dzakhiratusy Syakirin, hal. 186)
Wallahu a’lam bish-shawab.

sumber :http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=775

Kisah Seguci Emas

Rabu, 25 Maret 2009 - 20:04:30, Penulis : Al-Ustadz Abu Muhammad Harist



Sebuah kisah yang terjadi di masa lampau, sebelum Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan. Kisah yang menggambarkan kepada kita pengertian amanah, kezuhudan, dan kejujuran serta wara’ yang sudah sangat langka ditemukan dalam kehidupan manusia di abad ini.
Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اشْتَرَى رَجُلٌ مِنْ رَجُلٍ عَقَارًا لَهُ فَوَجَدَ الرَّجُلُ الَّذِي اشْتَرَى الْعَقَارَ فِي عَقَارِهِ جَرَّةً فِيهَا ذَهَبٌ فَقَالَ لَهُ الَّذِي اشْتَرَى الْعَقَارَ: خُذْ ذَهَبَكَ مِنِّي إِنَّمَا اشْتَرَيْتُ مِنْكَ الْأَرْضَ وَلَمْ أَبْتَعْ مِنْكَ الذَّهَبَ. وَقَالَ الَّذِي لَهُ الْأَرْضُ: إِنَّمَا بِعْتُكَ الْأَرْضَ وَمَا فِيهَا. فَتَحَاكَمَا إِلَى رَجُلٍ فَقَالَ الَّذِي تَحَاكَمَا إِلَيْهِ: أَلَكُمَا وَلَدٌ؟ قَالَ أَحَدُهُمَا: لِي غُلَامٌ. وَقَالَ الآخَرُ: لِي جَارِيَةٌ. قَالَ: أَنْكِحُوا الْغُلَامَ الْجَارِيَةَ وَأَنْفِقُوا عَلَى أَنْفُسِهِمَا مِنْهُ وَتَصَدَّقَا
Ada seorang laki-laki membeli sebidang tanah dari seseorang. Ternyata di dalam tanahnya itu terdapat seguci emas. Lalu berkatalah orang yang membeli tanah itu kepadanya: “Ambillah emasmu, sebetulnya aku hanya membeli tanah darimu, bukan membeli emas.”
Si pemilik tanah berkata kepadanya: “Bahwasanya saya menjual tanah kepadamu berikut isinya.”
Akhirnya, keduanya menemui seseorang untuk menjadi hakim. Kemudian berkatalah orang yang diangkat sebagai hakim itu: “Apakah kamu berdua mempunyai anak?”
Salah satu dari mereka berkata: “Saya punya seorang anak laki-laki.”
Yang lain berkata: “Saya punya seorang anak perempuan.”
Kata sang hakim: “Nikahkanlah mereka berdua dan berilah mereka belanja dari harta ini serta bersedekahlah kalian berdua.”
Sungguh, betapa indah apa yang dikisahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Di zaman yang kehidupan serba dinilai dengan materi dan keduniaan. Bahkan hubungan persaudaraan pun dibina di atas kebendaan. Wallahul musta’an.
Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisahkan, transaksi yang mereka lakukan berkaitan sebidang tanah. Si penjual merasa yakin bahwa isi tanah itu sudah termasuk dalam transaksi mereka. Sementara si pembeli berkeyakinan sebaliknya; isinya tidak termasuk dalam akad jual beli tersebut.
Kedua lelaki ini tetap bertahan, lebih memilih sikap wara’, tidak mau mengambil dan membelanjakan harta itu, karena adanya kesamaran, apakah halal baginya ataukah haram?
Mereka juga tidak saling berlomba mendapatkan harta itu, bahkan menghindarinya. Simaklah apa yang dikatakan si pembeli tanah: “Ambillah emasmu, sebetulnya aku hanya membeli tanah darimu, bukan membeli emas.”
Barangkali kalau kita yang mengalami, masing-masing akan berusaha cari pembenaran, bukti untuk menunjukkan dirinya lebih berhak terhadap emas tersebut. Tetapi bukan itu yang ingin kita sampaikan melalui kisah ini.
Hadits ini menerangkan ketinggian sikap amanah mereka dan tidak adanya keinginan mereka mengaku-aku sesuatu yang bukan haknya. Juga sikap jujur serta wara’ mereka terhadap dunia, tidak berambisi untuk mengangkangi hak yang belum jelas siapa pemiliknya. Kemudian muamalah mereka yang baik, bukan hanya akhirnya menimbulkan kasih sayang sesama mereka, tetapi menumbuhkan ikatan baru berupa perbesanan, dengan disatukannya mereka melalui perkawinan putra putri mereka. Bahkan, harta tersebut tidak pula keluar dari keluarga besar mereka. Allahu Akbar.
Bandingkan dengan keadaan sebagian kita di zaman ini, sampai terucap dari mereka: “Mencari yang haram saja sulit, apalagi yang halal?” Subhanallah.
Kemudian, mari perhatikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma:
وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ
“Siapa yang terjatuh ke dalam syubhat (perkara yang samar) berarti dia jatuh ke dalam perkara yang haram.”
Sementara kebanyakan kita, menganggap ringan perkara syubhat ini. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, bahwa siapa yang jatuh ke dalam perkara yang samar itu, bisa jadi dia jatuh ke dalam perkara yang haram. Orang yang jatuh dalam hal-hal yang meragukan, berani dan tidak memedulikannya, hampir-hampir dia mendekati dan berani pula terhadap perkara yang diharamkan lalu jatuh ke dalamnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menjelaskan pula dalam sabdanya yang lain:
دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ
“Tinggalkan apa yang meragukanmu, kepada apa yang tidak meragukanmu.”
Yakni tinggalkanlah apa yang engkau ragu tentangnya, kepada sesuatu yang meyakinkanmu dan kamu tahu bahwa itu tidak mengandung kesamaran.
Sedangkan harta yang haram hanya akan menghilangkan berkah, mengundang kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, menghalangi terkabulnya doa dan membawa seseorang menuju neraka jahannam.
Tidak, ini bukan dongeng pengantar tidur.
Inilah kisah nyata yang diceritakan oleh Ash-Shadiqul Mashduq (yang benar lagi dibenarkan) Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4)
Kedua lelaki itu menjauh dari harta tersebut sampai akhirnya mereka datang kepada seseorang untuk menjadi hakim yang memutuskan perkara mereka berdua. Menurut sebagian ulama, zhahirnya lelaki itu bukanlah hakim, tapi mereka berdua memintanya memutuskan persoalan di antara mereka.
Dengan keshalihan kedua lelaki tersebut, keduanya lalu pergi menemui seorang yang berilmu di antara ulama mereka agar memutuskan perkara yang sedang mereka hadapi. Adapun argumentasi si penjual, bahwa dia menjual tanah dan apa yang ada di dalamnya, sehingga emas itu bukan miliknya. Sementara si pembeli beralasan, bahwa dia hanya membeli tanah, bukan emas.
Akan tetapi, rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala membuat mereka berdua merasa tidak butuh kepada harta yang meragukan tersebut.
Kemudian, datanglah keputusan yang membuat lega semua pihak, yaitu pernikahan anak laki-laki salah seorang dari mereka dengan anak perempuan pihak lainnya, memberi belanja keluarga baru itu dengan harta temuan tersebut, sehingga menguatkan persaudaraan imaniah di antara dua keluarga yang shalih ini.
Perhatikan pula kejujuran dan sikap wara’ sang hakim. Dia putuskan persoalan keduanya tanpa merugikan pihak yang lain dan tidak mengambil keuntungan apapun. Seandainya hakimnya tidak jujur atau tamak, tentu akan mengupayakan keputusan yang menyebabkan harta itu lepas dari tangan mereka dan jatuh ke tangannya.
Pelajaran yang kita ambil dari kisah ini adalah sekelumit tentang sikap amanah dan kejujuran serta wara’ yang sudah langka di zaman kita.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dalam Syarah Riyadhis Shalihin mengatakan:
Adapun hukum masalah ini, maka para ulama berpendapat apabila seseorang menjual tanahnya kepada orang lain, lalu si pembeli menemukan sesuatu yang terpendam dalam tanah tersebut, baik emas atau yang lainnya, maka harta terpendam itu tidak menjadi milik pembeli dengan kepemilikannya terhadap tanah yang dibelinya, tapi milik si penjual. Kalau si penjual membelinya dari yang lain pula, maka harta itu milik orang pertama. Karena harta yang terpendam itu bukan bagian dari tanah tersebut.
Berbeda dengan barang tambang atau galian. Misalnya dia membeli tanah, lalu di dalamnya terdapat barang tambang atau galian, seperti emas, perak, atau besi (tembaga, timah dan sebagainya). Maka benda-benda ini, mengikuti tanah tersebut.
Kisah lain, yang mirip dengan ini, terjadi di umat ini. Kisah ini sangat masyhur, wallahu a’lam.
Beberapa abad lalu, di masa-masa akhir tabi’in. Di sebuah jalan, di salah satu pinggiran kota Kufah, berjalanlah seorang pemuda. Tiba-tiba dia melihat sebutir apel jatuh dari tangkainya, keluar dari sebidang kebun yang luas. Pemuda itu pun menjulurkan tangannya memungut apel yang nampak segar itu. Dengan tenang, dia memakannya.
Pemuda itu adalah Tsabit. Baru separuh yang digigitnya, kemudian ditelannya, tersentaklah dia. Apel itu bukan miliknya! Bagaimana mungkin dia memakan sesuatu yang bukan miliknya?
Akhirnya pemuda itu menahan separuh sisa apel itu dan pergi mencari penjaga kebun tersebut. Setelah bertemu, dia berkata: “Wahai hamba Allah, saya sudah menghabiskan separuh apel ini. Apakah engkau mau memaafkan saya?”
Penjaga itu menjawab: “Bagaimana saya bisa memaafkanmu, sementara saya bukan pemiliknya. Yang berhak memaafkanmu adalah pemilik kebun apel ini.”
“Di mana pemiliknya?” tanya Tsabit.
“Rumahnya jauh sekitar lima mil dari sini,” kata si penjaga.
Maka berangkatlah pemuda itu menemui pemilik kebun untuk meminta kerelaannya karena dia telah memakan apel milik tuan kebun tersebut.
Akhirnya pemuda itu tiba di depan pintu pemilik kebun. Setelah mengucapkan salam dan dijawab, Tsabit berkata dalam keadaan gelisah dan ketakutan: “Wahai hamba Allah, tahukah anda mengapa saya datang ke sini?”
“Tidak,” kata pemilik kebun.
“Saya datang untuk minta kerelaan anda terhadap separuh apel milik anda yang saya temukan dan saya makan. Inilah yang setengah lagi.”
“Saya tidak akan memaafkanmu, demi Allah. Kecuali kalau engkau menerima syaratku,” katanya.
Tsabit bertanya: “Apa syaratnya, wahai hamba Allah?”
Kata pemilik kebun itu: “Kamu harus menikahi putriku.”
Si pemuda tercengang seraya berkata: “Apa betul ini termasuk syarat? Anda memaafkan saya dan saya menikahi putri anda? Ini anugerah yang besar.”
Pemilik kebun itu melanjutkan: “Kalau kau terima, maka kamu saya maafkan.”
Akhirnya pemuda itu berkata: “Baiklah, saya terima.”
Si pemilik kebun berkata pula: “Supaya saya tidak dianggap menipumu, saya katakan bahwa putriku itu buta, tuli, bisu dan lumpuh tidak mampu berdiri.”
Pemuda itu sekali lagi terperanjat. Namun, apa boleh buat, separuh apel yang ditelannya, kemana akan dia cari gantinya kalau pemiliknya meminta ganti rugi atau menuntut di hadapan Hakim Yang Maha Adil?
“Kalau kau mau, datanglah sesudah ‘Isya agar bisa kau temui istrimu,” kata pemilik kebun tersebut.
Pemuda itu seolah-olah didorong ke tengah kancah pertempuran yang sengit. Dengan berat dia melangkah memasuki kamar istrinya dan memberi salam.
Sekali lagi pemuda itu kaget luar biasa. Tiba-tiba dia mendengar suara merdu yang menjawab salamnya. Seorang wanita berdiri menjabat tangannya. Pemuda itu masih heran kebingungan, kata mertuanya, putrinya adalah gadis buta, tuli, bisu dan lumpuh. Tetapi gadis ini? Siapa gerangan dia?
Akhirnya dia bertanya siapa gadis itu dan mengapa ayahnya mengatakan begitu rupa tentang putrinya.
Istrinya itu balik bertanya: “Apa yang dikatakan ayahku?”
Kata pemuda itu: “Ayahmu mengatakan kamu buta.”
“Demi Allah, dia tidak dusta. Sungguh, saya tidak pernah melihat kepada sesuatu yang dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
“Ayahmu mengatakan kamu bisu,” kata pemuda itu.
“Ayahku benar, demi Allah. Saya tidak pernah mengucapkan satu kalimat yang membuat Allah Subhanahu wa Ta’ala murka.”
“Dia katakan kamu tuli.”
“Ayah betul. Demi Allah, saya tidak pernah mendengar kecuali semua yang di dalamnya terdapat ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
“Dia katakan kamu lumpuh.”
“Ya. Karena saya tidak pernah melangkahkan kaki saya ini kecuali ke tempat yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Pemuda itu memandangi wajah istrinya, yang bagaikan purnama. Tak lama dari pernikahan tersebut, lahirlah seorang hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang shalih, yang memenuhi dunia dengan ilmu dan ketakwaannya. Bayi tersebut diberi nama Nu’man; Nu’man bin Tsabit Abu Hanifah rahimahullahu.
Duhai, sekiranya pemuda muslimin saat ini meniru pemuda Tsabit, ayahanda Al-Imam Abu Hanifah. Duhai, sekiranya para pemudinya seperti sang ibu, dalam ‘kebutaannya, kebisuan, ketulian, dan kelumpuhannya’.
Demikianlah cara pandang orang-orang shalih terhadap dunia ini. Adakah yang mengambil pelajaran?
Wallahul Muwaffiq.

sumber :http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=777

Mengetuk Pintu Rezeki

Apatheia_s

Mengapa pintu rezeki kadang begitu susah dibuka? Padahal, setiap anak Adam yang lahir ke dunia sudah ada jatah rezekinya. Jangan-jangan kita salah pintu. Atau pintu itu tersumbat. Kita harus menemukan kuncinya.

Setiap kita mendambakan kebahagiaan. Apa pun bentuknya. Adalah di antara kemurahan Allah ketika Dia menjadikan salah satu sumber kebahagiaan itu adalah harta. Karenanya, ketika Allah memerintahkan untuk mengejar kehidupan akhirat, Dia mengiringinya dengan perintah untuk mengambil bagian kesenangan duniawi. Jadi, mencari atau menyongsong rezeki duniawi bukanlah sesuatu yang salah ketika tidak mengabaikan ibadah pada Allah. Bahkan, usaha tersebut bisa jadi bernilai pahala saat diniatkan pada Allah.

Tapi, mengapa rezeki kadang begitu susah didapat? Padahal, setiap anak Adam yang lahir ke dunia sudah ada jatah rezekinya. Rezeki yang diberikan Allah takkan pindah ke tangan orang lain. Seandainya pindah, berarti rezeki itu bukan jatahnya. Jangan-jangan kita salah pintu. Kita mengetuk pintu rezeki yang salah. Atau, kita salah memegang kunci. Atau kita tak punya kunci sama sekali untuk membuka pintu rezeki. Atau memang pintu itu masih tersumbat sehingga mesti dicari kuncinya untuk bisa dibuka.

sudah dipaparkan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Sudah ada. Kita tinggal mengambilnya atau mengamalkannya.
Di antara kunci diturunkannya rezeki adalah istighfar (memohon ampun) dan taubat kepada Allah. Ada yang menyangka bahwa istighfar dan taubat hanya cukup dengan lisan semata. Padahal, tidak demikian.

Imam Nawawi menjelaskan taubat dengan ungkapan, “Bertaubat dari setiap dosa hukumnya wajib. Jika maksiat (dosa) itu antara hamba dengan Allah, yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak manusia maka syaratnya ada tiga. Pertama, hendaknya ia menjauhi maksiat tersebut. Kedua, ia harus menyesali perbuatan (maksiat)nya. Ketiga, ia harus berkeinginan untuk tidak mengulanginya lagi. Jika salah satunya hilang, maka taubatnya tidak sah.
Jika taubat itu berkaitan dengan manusia, maka syaratnya ada empat. Ketiga syarat di atas dan keempat, hendaknya ia membebaskan diri (memenuhi) hak orang tersebut. Jika berbentuk harta benda atau sejenisnya maka ia harus mengembalikannya. Jika berupa had (hukuman) tuduhan atau sejenisnya maka ia harus memberinya kesempatan untuk membalasnya atau meminta maaf kepadanya. Jika berupa ghibah (menggunjing), maka ia harus meminta maaf.”

Beberapa nash al-Qur’an dan Hadits menunjukkan bahwa istighfar dan taubat termasuk sebab datangnya rezeki. Allah berfirman, “Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu’, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai’,” (QS Nuh: 10-12).

Umar bin Khaththab juga berpegang dengan apa yang terkandung dalam ayat ini ketika memohon hujan kepada Allah. Diriwayatkan, suatu ketika Umar keluar untuk memohon hujan bersama orang banyak. Ia tidak lebih dari mengucapkan istighfar
(memohon ampun kepada Allah) lalu pulang. Seseorang bertanya kepadanya, “Aku tak mendengar Anda memohon hujan.” Maka ia menjawab, “Aku memohon diturunkannya hujan dengan menengadah ke langit yang dengannya diharapkan bakal turun air hujan.” Lalu ia membaca ayat, “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat,” (QS Nuh: 10-11).

Hasan Bashri, seorang tabiin, juga menganjurkan istighfar (memohon ampun) kepada setiap orang yang mengadukan kepadanya tentang kegersangan, kefakiran, sedikitnya keturunan dan kekeringan kebun-kebun. Imam al-Qurthubi mengisahkan, “Ada seorang laki-laki mengadu kepada Hasan Bashri tentang kegersangan (bumi). Ia berkata, ‘Beristighfarlah kepada Allah!’ Yang lain mengadu kepadanya tentang kemiskinan, ia juga berkata, ‘Beristighfarlah kepada Allah!’ Yang lain lagi berkata kepadanya, ‘Doakanlah (aku) kepada Allah, agar ia memberiku anak!’ Maka, ia mengatakan kepadanya, ‘Beristighfarlah kepada Allah!’ Dan yang lain lagi mengadu kepadanya tentang kekeringan kebunnya. Ia pun berkata, ‘Beristighfarlah kepada Allah!’

Dalam riwayat lain disebutkan, Rabi’ bin Shabih pernah bertanya pada Hasan Bashri, “Banyak orang mengadukan bermacam-macam (perkara) dan Anda memerintahkan mereka untuk beristighfar.” Hasan Bashri menjawab, “Aku tak mengatakan hal itu dari diriku sendiri. Tetapi sungguh Allah telah berfirman, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirim-kan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu ke-bun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai,’” (QS Nuh: 10-12).

Dalam ayat lain Allah berfirman, “Dan (Hud berkata), ‘Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertaubatlah kepadaNya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat lebat atasmu dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa’,” (QS Hud: 52).
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat di atas menyatakan, “Kemudian Hud memerintahkan kaumnya untuk beristighfar yang dengannya dosa-dosa yang lalu dapat dihapuskan. Kemudian memerintahkan mereka bertaubat untuk masa yang akan mereka hadapi. Barangsiapa memiliki sifat seperti ini, niscaya Allah akan memudahkan rezekinya, melancarkan urusannya dan menjaga keadaannya. Karena itu, Allah berfirman, ‘Niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat lebat atasmu’”.

Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa memperbanyak istighfar (mohon ampun kepada Allah), niscaya Allah menjadikan untuk setiap kesedihannya jalan keluar dan untuk setiap kesempitannya kelapangan, dan Allah akan memberinya rezeki (yang halal) dari arah yang tiada disangka-sangka,” (HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan al-Hakim).
Dalam hadits lain, Nabi saw mengabarkan tentang tiga hasil yang dapat dipetik oleh orang yang memperbanyak istighfar. Salah satunya yaitu, bahwa Allah Yang Maha Memberi rezeki, akan memberikan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka dan tidak diharapkan serta tak pernah terbetik dalam hatinya. Karena itu, kepada orang yang mengharapkan rezeki hendaklah bersegera memperbanyak istighfar, baik dengan ucapan maupun perbuatan.

Hal lain yang bisa mengundang turunnya rezeki adala taqwa. Allah berfirman, “Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya,” (QS ath-Thalaq: 2-3).

Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, “Maknanya, barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah dengan melakukan apa yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya, niscaya Allah akan memberinya jalan keluar serta rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka, yakni dari arah yang tidak pernah terlintas dalam benaknya.” Abdullah bin Mas’ud berkata, “Sesungguhnya ayat terbesar dalam hal pemberian janji jalan keluar adalah, “Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya,’” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/400).

Dalam ayat lain Allah dengan jelas menegaskan, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendus-takan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatan mereka sendiri,” (QS al-A’raf: 96).

Ketika menafsirkan firman Allah, ‘Pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berbagai berkah dari langit dan bumi’, Abdullah bin Abbas, seorang sahabat Nabi yang dikenal dengan keluasan ilmu, mengatakan, “Niscaya Kami lapangkan kebaikan (kekayaan) untuk mereka dan Kami mudahkan bagi mereka untuk mendapatkannya dari segala arah,” (Tafsir Abu As-Su’ud, 3/253).

Menurut Imam ar-Razi, maksud firman Allah, ‘Berbagai keberkahan dari langit dan bumi’, adalah keberkahan langit dengan turunnya hujan, keberkahan bumi dengan tumbuhnya berbagai tanaman dan buah-buahan, banyaknya hewan ternak dan gembalaan serta diperolehnya keamanan dan keselamatan. Langit laksana ayah, dan bumi laksana ibu. Dari keduanya diperoleh semua bentuk manfaat dan kebaikan berdasarkan penciptaan dan pengurusan Allah (Tafsir at-Tahrir wa Tanwir, 9/22).
Di antara kunci rezeki lainnya adalah beribadah pada Allah sepenuhnya. Imam Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim dari Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT berfirman, ‘Wahai anak Adam, beribadahlah sepenuhnya kepada-Ku, niscaya Aku penuhi (hatimu yang ada) di dalam dada dengan kekayaan dan Aku penuhi kebutuhanmu. Jika tidak kalian lakukan, niscaya Aku penuhi tanganmu dengan kesibukan dan tidak Aku penuhi kebutuhanmu (kepada manusia)’.” (Al-Musnad, no. 8681, 16/284. Jami’ut Tirmidzi, Abwabul Shifatil Qiyamah, bab no. 2583, 7/140).

Dalam hadits tersebut Nabi saw menjelaskan, Allah menjanjikan pada orang yang beribadah kepada-Nya sepenuhnya dengan dua hadiah. Yaitu, mengisi hati orang yang beribadah kepada-Nya sepenuhnya dengan kekayaan serta memenuhi kebutuhannya. Sebaliknya, mengancam yang tidak beribadah kepada-Nya sepenuhnya dengan dua siksa. Yaitu, Allah memenuhi kedua tangan orang itu dengan berbagai kesibukan, dan ia tidak mampu memenuhi kebutuhannya, sehingga ia tetap membutuhkan manusia.
Selain itu, rezeki bisa juga turun melalui silaturahim. Beberapa hadits dan atsar menunjukkan bahwa Allah SWT menjadikan silaturahim termasuk di antara sebab kelapangan rezeki. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang senang untuk dilapangkan rezekinya dan diakhirkan ajalnya (dipanjangkan umurnya), hendaknyalah ia menyambung (tali) silaturahim.”

Dalam hadits lain, Nabi saw bersabda, “Belajarlah tentang nasab-nasab kalian sehingga kalian bisa menyambung silaturrahim. Karena sesungguhnya silaturahim adalah (sebab adanya) kecintaan terhadap keluarga (kerabat dekat), (sebab) banyaknya harta dan bertambahnya usia,” (Al-Musnad, no. 8855, 17/142. Jami’ut Tirmidzi, Abwabul Birri wash Shilah, Bab Ma Ja’a fi Ta’limin Nasab, no. 2045).

Demikian besarnya pengaruh silaturahim dalam berkembangnya harta benda dan menjauhkan kemiskinan, sampai-sampai harta ahli maksiat pun bisa berkembang karena silaturahim. Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abu Bakrah dari Nabi saw bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya ketaatan yang paling disegerakan pahalanya adalah silaturahim. Bahkan, hingga suatu keluarga yang ahli maskiat pun, harta mereka bisa berkembang dan jumlah mereka bertambah banyak jika mereka saling bersilaturahim. Dan tidaklah ada suatu keluarga yang saling bersilaturahim, kemudian mereka (kekurangan), ” (Al-Ihsan fi Taqribi Shahih Ibnu Hibban, Kitabul Birr wal Ihsan, bab Shilaturrahim wa Qath’iha, no. 440, 2/182-183).

Kalau ahli maksiat yang bersilaturahim pun dijanjikan Allah kelapangan rezeki, apalagi ahli ibadah. Bahkan, seharusnya silaturahim tak mesti menunggu waktu-waktu tertentu. Ia bisa dilakukan kapan saja, terutama pada kaum kerabat.

Sumber : http://apatheia-s-openyourmind.blogspot.com/2005/02/mengetuk-pintu-rezeki.html

Sabtu, 18 April 2009

Budi Setyagraha, Gara-gara Takut Rezeki Dicabut

Budi Setyagraha, Gara-gara Takut Rezeki Dicabut
By Republika NewsroomSenin, 06 April 2009 pukul 11:22:00
Pada umumnya, bagi warga keturunan Cina, berdagang merupakan satu-satunya cara untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga (keluarga). Karena itu, hampir tidak pernah (jarang) dijumpai ada warga keturunan yang tidak mempunyai usaha dalam perdagangan. Entah usaha bangunan, butik, makanan, obat, maupun lainnya.Itu pula yang dilakukan Budi Setyagraha pada 1978. Dengan berbekal pengalaman, warga keturunan Cina yang terbiasa berdagang, Budi pun memulai usahanya dalam bidang bangunan, tepatnya di Jalan Kyai Mojo, Yogyakarta, 21 tahun silam. Beruntung, karena ketekunan dan ketelitiannya, dalam waktu singkat usahanya pun mulai menuai hasil. Dan, ia merasa keberhasilannya itu patut disyukuri.Disinilah rupanya mulai muncul kebimbangan. Dirinya bingung harus bersyukur dengan cara apa dan pada tuhan yang mana. Budi mengaku, tidak yakin dengan agama Buddha yang telah dianut sebelumnya.''Setelah lima tahun menimbang-nimbang, akhirnya pada 1983 saya memutuskan untuk masuk Islam,'' jelas Budi kepadaRepublika, di Yogyakarta, Selasa (31/3) lalu.Takut Rezeki DicabutKalau kemudian pilihannya jatuh pada agama Islam sebagai jalan hidupnya, ternyata hal itu agar rezekinya tidak dicabut oleh Tuhan dan terus bertambah. Memang, kata dia, awalnya terasa lucu juga hanya karena rezekinya takut dicabut lantas dirinya memilih Islam. Sebab, ungkap Budi, bagi warga keturunan Tionghoa, usaha dagang merupakan satu-satunya pilihan untuk mengais rezeki. ''Lha, saya waktu itu merasa ngeri bagaimana kalau nanti rezeki dicabut sama Tuhan, hidup saya akan susah,'' paparnya.Itu awalnya. Namun, menurut pria yang kini ditunjuk menjadi Sekjen Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Perhimpunan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) ini, ia juga memilih Islam karena bila dibandingkan dengan agama lain, Islam justru terasa pas dan sejalan dengan pemikiran manusia.''Saya memilih Islam karena konsep ketuhanan agama lain kurang pas, bagi saya. Bukan berarti ngelek-elek agama lain. Konsep ketuhanan bagi saya ada pada ketauhidan di dalam agama Islam, yaitu Laa ilaaha illallah, Muhammad Rasululllah. Kalimat tauhid tersebut yang membuka hati saya,'' jelasnya.Ia mengaku tertarik masuk Islam karena dorongan dari lubuk hatinya yang paling dalam. Sebelum masuk Islam, Budi senang mendengarkan khutbah Buya Hamka melalui Televisi. Ia juga membaca buku-buku dan karya Buya Hamka, termasuk buku yang berjudul Dibawah Lindungan Ka'bah.Buku tersebut sering ia gunakan sebagai referensi apabila ada tugas-tugas atau karya tulis ketika masih sekolah. Dan, dari buku ini pula yang akhirnya menuntunnya untuk memeluk Islam.''Setelah masuk Islam saya baru tahu manfaatnya membaca buku tersebut. Selain itu, ketika saya masih sekolah juga senang berfoto di depan Masjid Syuhada Kotabaru Yogyakarta,'' katanya.Naik HajiSetahun setelah masuk Islam (1984), Budi pun menunaikan rukun Islam yang kelima, naik haji. Padahal, awalnya ia masih ragu-ragu untuk berhaji. Sebab, ia belum sanggup menghafal doa-doa beribadah haji. Namun, berkat dorongan almarhum AR Fakhruddin (mantan ketua umum PP Muhammadiyah--Red), Budi akhirnya mantap untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah. Budi diminta untuk membaca Doa 'Sapu Jagad' (Rabbana aatinaa fiddun ya hasanah, wafil aakhirati hasanah, waqina 'adzaaban naar).''Beliau (AR Fakhruddin--Red) mengatakan kepada saya, ''Mumpung badannya masih sehat, imannya kuat, dan finansial (biaya) ada, bersegeralah melaksanakan haji,'' kata Budi menirukan ucapan AR Fakhruddin.Selepas itu, Budi pun kemudian terus berupaya memantapkan pemahamannya tentang agama Islam. Ia belajar pada Ustadz Drs Ma'ruf Siregar, guru agama Islam di SMA 2 Yogyakarta. Dan, Ustadz Ma'ruf, senantiasa datang ke rumah Budi untuk mengajar dan mengkaji Islam.Keislaman Budi Setyagraha akhirnya diketahui oleh saudara-saudaranya. Mereka pun bertanya-tanya. Apa yang menjadi alasan Budi memeluk Islam. Bahkan, istrinya pun enggan mengikuti jejaknya.Budi mengatakan, bagi kebanyakan warga keturunan Tionghoa, Islam itu dipandang sebagai agama untuk orang-orang yang ingin menikah, atau cari istri lagi (poligami--Red). ''Banyak pertanyaan lain yang kerap mereka lontarkan pada saya. Intinya, mereka sangat sinis dan begitu negatif memandang Islam,'' terangnya.Mendapat sindiran seperti itu, Budi tetap teguh dan kukuh pada pendiriannya, menganut agama Islam. Bahkan, ia ingin membuktikan pada keluarganya bahwa Islam itu bukan agama yang mengajarkan hanya kawin cerai. Islam justru sangat membenci perceraian dan menghendaki terbentuknya sebuah keluarga yang harmonis. Sedangkan perceraian adalah jalan keluar (solusi), apabila dalam rumah tangga muncul keretakan yang sulit untuk disatukan kembali.Karena itu pula, Budi ingin menunjukkan pada saudaranya bahwa dirinya tetap menyayangi istrinya. Dan Budi juga menunjukkan, bahwa para ustadz yang membimbingnya hanya memiliki istri satu. Bukti-bukti itu akhirnya membuat saudara dan rekan-rekannya sesama warga keturunan menjadi percaya pada keputusan Budi memeluk Islam.''Ternyata saya tidak seperti yang dibayangkan orang sebelumnya. Saya dinilai baik, sehingga banyak orang yang mengikuti pengajian-pengajian saya dan banyak yang ikut masuk Islam,'' ujar mantan ketua umum PITI Yogyakarta ini.Setelah masuk Islam, Budi merasakan kehidupannya harus mematuhi aturan yang sudah baku dalam Islam, yaitu syariah Islam. Syariah Islam ini diterapkan dalam mengelola usahanya sehingga Budi merasa hasil dari usahanya benar-benar halal.Baginya, hal yang paling penting dalam beragama adalah mengamalkannya. Ia berpandangan, kalau agama tidak diamalkan, akan menjadi seorang yang ekstrem. Ibarat aki kalau di-charge terus, lama-lama akan meledak. Karena itu, perlu ada penyaluran untuk mengamalkannya.Artinya, kata dia, setiap ada pengajian diikuti, dan ilmu yang didapatkan diamalkan. Dengan demikian, dirinya akan senang dan masyarakat pun juga suka karena senantiasa bisa bersilaturahim. ''Makanya, silaturahim antarsesama itu sangat dianjurkan. Orang yang senang silaturahim akan dipanjangkan umurnya dan dilapangkan rezekinya,'' katanya.Ini kalau kita lakukan dan merasa yakin hikmahnya bisa menumbuhkan husnuzhzhan (prasangka baik). Sebaliknya, jika tidak dilakukan akan menumbuhkan su'uzhan (berprasangka buruk) terhadap orang lain.Lebih lanjut Budi menyatakan, dalam kehidupan bermasyarakat sering muncul perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Karena itu, jika tidak ada silaturahim, akan muncul persepsi (pandangan) yang salah antarsesama warga masyarakat.Keberhasilan Budi Setyagraha dalam mengelola usahanya telah berhasil mengantarkan kedua anaknya menyelesaikan pendidikan tinggi (pascasarjana, S2) di Amerika Serikat. Mia (29) lulusan S2 jurusan Finansial dan Yudistira (27) menyelesaikan S2 jurusan Ekonomi Makro. Kini, mereka sudah kembali ke Indonesia ikut membantu menjalankan usaha Budi.Sejak 1984 hingga 2004, Budi Setyagraha dinobatkan sebagai ketua DPD Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Daerah Istimewa Yogyakarta. Ketika pertama kali menjabat ketua PITI DIY, jumlah anggotanya baru tiga orang. Namun, kini jumlah orang Tionghoa di Yogyakarta yang masuk Islam sudah mencapai 200 orang.Menurut Budi, peran PITI ini sangat penting bagi perkembangan Islam di Yogyakarta khususnya dan Indonesia pada umumnya. Bahkan, Budi menilai, PITI merupakan jembatan bagi warga Tionghoa untuk masuk Islam.Sebab, wadah ini merupakan tempat untuk ''berlindung'' bagi warga Tionghoa yang masuk Islam. Mereka yang masuk Islam tentu akan menghadapi berbagai tantangan. Dan, bila ada persoalan, PITI akan berusaha turut serta menyelesaikan permasalahan yang ada. Karena itu, PITI memberikan ''perlindungan'' agar warganya tetap dalam iman dan Islam.Untuk meningkatkan keimanan warga Tionghoa yang masuk Islam, rumahnya kini menjadi 'madrasah' (tempat menuntut ilmu--Red), seperti majelis taklim (pengajian). Bahkan, Budi menyediakan sebuah mobil untuk antar jemput bagi anggota PITI yang ingin mengikuti pengajian di rumahnya.Budi menjelaskan, sebagian besar anggota PITI berasal dari warga keturunan yang melakukan perkawinan campur (Cina-Jawa, Cina-Sunda, dan lainnya). Dan, sangat sedikit pasangan suami istri yang semuanya keturunan Tionghoa yang masuk Islam.Selepas dari DPD PITI DIY, Budi Setyagraha dipercaya untuk menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PITI. Jabatan ini diembannya sejak 2005 lalu.Masuk Islam bagi Budi merupakan berkah dan petunjuk Allah SWT. Tidak ada maksud lain. Ia kini tidak lagi khawatir akan dicabut rezekinya. Bahkan, usaha toko bahan bangunan yang dirintisnya mempunyai cabang di Semarang dan Solo, Jawa Tengah.Selain itu, Budi juga mempunyai dua Bank Perkreditan Rakyat (BPR), yaitu Lumbung Harta dan Artha Berkah Cemerlang. Selain itu, ia juga mempunyai satu BPR Syariah Margi Rejeki.Banyaknya usaha yang dijalani, ia ingin menepis anggapan bahwa orang Islam itu selalu miskin. ''Tetapi, orang Islam juga bisa kaya,'' tandas Budi.heri purwata/taq
sumber http://www.republika.co.id/berita/42317/Budi_Setyagraha_Gara_gara_Takut_Rezeki_Dicabut

Makelar Tanpa Batas [1]

Makelar Tanpa Batas [1]
Filed under: Hidup di Singapura
Buat orang Indonesia kata makelar mungkin penuh dengan arti miring. Mungkin karena saya juga gampang kesal kalau titip beli kacang sama teman harus bayar 2000 perak sebungkus, lalu mendapati bahwa di warung samping rumah harganya hanya 1800 perak.

Padahal jadi makelar itu sah-sah saja selama dikemas dalam tampilan yang cantik dan tutur kata sopan. Iya nggak sih? Siapa yang tidak senang kalau dilayani sama penjual polis asuransi yang datang ke rumah penuh keramahan dengan tata krama tinggi. Coba bandingkan dengan membeli asuransi ke kantornya langsung, harus ambil nomer antrian dulu hanya untuk dilayani oleh petugas yang kecapean nggak ada tenaga lagi untuk berbasa-basi.

Ah, itu hanya salah satu contoh saja. Sebetulnya saya ingin bilang bahwa Singapura itu adalah organisasi para makelar keren yang berkumpul dan bersepakat untuk menjadikan pulau ini sebagai negara. Habis, memang dari dulunya Singapura sudah jadi pusat ekonomi kawasan Asia Tenggara

hidup makelarisasi! Bukti kegapean jadi makelar adalah ekspor minyak Singapura yang tinggi. Hal ini buat banyak orang terdengar aneh, karena pulau ini tidak punya sumber minyak mentah. Dan yang dieskpor memang bukan minyak mentah. Beli dulu minyak mentah dari tetangga raksasa besar baik hati tapi males [hehehhe…. ], lalu simpan di kilang-kilang raksasa daerah Jurong, teteskan sedikit campuran mahadaya. Voila, jadi deh bensin, solar, dlsb. Lalu dijual lagi deh ke raksasa besar tadi.
sumber http://bintangmatahari.blogsome.com/2005/08/24/makelar-tanpa-batas-1/

MENJADI MAKELAR PROPERTI, KENAPA NGGAK

MENJADI MAKELAR PROPERTI, KENAPA NGGAK?Oleh: Safir Senduk
Dikutip dari Tabloid NOVA No. 942/XVIII
Dalam perjalanan pulang ke rumah dari kantor di daerah Sudirman, saya melihat spanduk dengan tulisan menyolok. Kira-kira bunyinya begini. Hadirilah:
SEMINAR GRATIS"Cara Hebat dan Mudah Menjadi Kaya melalui Properti".Kamis, Pkl. 10.30 WIB
Wah, menarik nih, pikir saya. Tahu enggak apa yang membuat saya tertarik? Tulisannya yang bombastis? Bukan. Banyak kok jenis tulisan seperti itu di buku dan majalah. Yang membuat saya tertarik adalah hari dan jam penyelenggaraannya, yaitu Kamis pukul 10.30 WIB. Memangnya kenapa kalau kamis jam 10.30 WIB?
Jelas dong, hari Kamis kan hari kerja? Dan jam 10.30 adalah juga jam kerja? Ini berarti, kalau seminar itu diadakan pada hari dan jam seperti itu, bisa dipastikan sasarannya bukan untuk para pekerja kantoran. Lho, terus siapa? Jam segitu, siapa lagi yang paling pas untuk datang kecuali para ibu rumah tangga atau para wanita yang tidak kerja kantoran?
Sekarang, mungkin Anda heran, bagaimana kita bisa menjadi kaya dengan cara yang hebat dan mudah? Jawabanya, menjadi Broker Properti. Nama Indonesia-nya sih biasanya: MAKELAR PROPERTI. Tapi oke deh, kita sebut saja Broker Properti. Cara menjadi Broker Properti di sini adalah dengan bergabung pada sebuah Kantor Broker Properti.
Apa, sih kehebatannya jadi Broker Properti?
Relatif Enggak Pake ModalPernah tahu nggak berapa modal yang Anda butuhkan untuk membuat sebuah toko roti? Sekitar Rp 40 juta. Kalau buka toko kelontong: Rp 60 juta - 150 juta. Nah, sekarang berapa sih modal yang Anda butuhkan untuk menjadi seorang Broker Properti?
Pada beberapa kantor mungkin enggak perlu modal. Tapi di beberapa kantor lain, ada yang mensyaratkan sedikit investasi awal untuk pendidikan dan keperluan kantor, yaitu sekitar Rp 1-2 juta. Enggak mahal sih kalau dibandingkan dengan modal buka toko roti dan toko kelontong.
Meski Anda bukan pemilik usaha ini, tapi profesi Anda Anda sebagai seorang profesional. Jadi kekayaan ilmu sebagai broker jauh lebih mahal dibandingkan dengan pemilik toko-toko tersebut.
Tidak Terikat Waktu.Pernah nggak membayangkan kalau Anda bisa masuk dan pulang kantor kapan? Bahkan dengan kebebasan untuk bisa masuk kantor kapan saja kita perlu dan kapan saja kita butuh? Nah, ini enaknya jadi Broker Properti. Pada bisnis ini, Anda tidak akan pernah diikat oleh waktu. Memang sih pada beberapa kantor broker Anda mendapat jatah waktu piket untuk sekadar jaga kantor. Tapi itu juga enggak mutlak kok. Kalau enggak mau juga nggak masalah. Yang penting dari bisnis ini adalah produktivitas kita untuk dapat mencari barang jualan, dalam hal ini berarti properti yang akan dijual seperti tanah, rumah, ruko atau apartemen.
Selain barang jualan, kita juga perlu untuk mendapatkan pembeli. Nah kalau kedua hal tersebut bisa kita lakukan, enggak ke kantor juga enggak masalah kok. Jadi kalau kita mau kerja sambil bisa tetap menjemput anak ke sekolah, tetap bisa nonton gosip atau telenovela, dan nggak akan kena macet di pagi hari, maka menjadi Broker Properti adalah pekerjaan yang pas buat Anda.
Penghasilan yang Adil dan Tinggi.Pernah enggak ngerasain sudah kerja berat tapi gaji enggak nambah-nambah? Malah kadang merasa rugi karena temen yang kerjaannya lebih rnggak jelas kok bisa dapat gaji. Lebih tinggi lagi. Enggak adil kan rasanya?
Nah, di bisnis ini tidak seperti itu. Memang sih, sebagai seorang broker properti, di atas kita pasti ada seorang leader atau senior. Tapi mereka biasanya tidak mendapatkan gaji dari pendapatan kita. Kecuali kalau Anda meminta bantuan mereka atau mendapatkan prospek yang mereka pegang.
Sekarang, berapa sih penghasilan seorang broker? Dalam bisnis ini biasanya penerimaan yang didapat adalah berdasarkan persentase komisi. Pada beberapa kantor, komisi diperoleh dari penjual. Tapi ada juga broker yang mensyaratkan agar pembeli juga memberikan komisi. Apa enggak asyik tuh bisa dapat dari dua pihak? Memang berapa besar sih komisinya? Rata-rata sih sekitar 1.5% - 3% dari harga transaksi. Makin besar harga properti yang terjual mungkin bisa makin kecil prosentase komisinya. Jadi kecil dong?
Enggak juga. Kalau Anda bisa menjual rumah di BSD atau Karawaci yang seharga Rp 1,5 miliar, komisi 1% saja yang Anda dapatkan adalah Rp 15 juta. Bayangkan kalau Anda berhasil menjual rumah di Pondok Indah yang ditawarkan dengan harga Rp 3 miliar. Menggiurkan kan?
Banyak RelasiPekerjaan ini juga tepat lo untuk mereka yang senang bergaul dan bersosialisasi. Pada intinya pekerjaan ini hanya butuh banyak teman dan relasi. Makin banyak teman dan relasi maka makin mudah pekerjaan ini dilakukan. Adanya kekuatan relasi juga membuat Anda dapat dengan mudah berperan sebagai penghubung antara pihak pembeli dan penjual. Bahkan banyaknya relasi dapat membuat Anda bisa mendapatkan komisi tanpa harus menjadi broker. Lho, kok bisa? Begini caranya: Kalau teman Anda memiliki prospek yang ingin menjual rumah dan Anda memiliki prospek yang ingin membeli rumah yang kriterianya sesuai dengan kriteria penjual maka komisi yang diterima oleh teman Anda akan dibagi dua. Begitu pula sebaliknya. Gimana, asyik kan? Dimana lagi cuma dengan berteman bisa dapat uang? Ya enggak?
Ya, bekerja sebagai broker memang kayanya gampang dan menyenangkan. Tapi seperti juga pekerjaan-pekerjaan lainnya, profesi ini juga menuntut kita untuk tetap bekerja keras dan berdisiplin tinggi. Mengingat penghaasilan yang berupa komisi, maka makin banyak penjualan yang dilakukan maka akan makin tinggi pula komisi yang diperoleh. Jadi, kenapa Anda tidak mencoba untuk memulainya sekarang?
sumber http://www.perencanakeuangan.com/files/makelarproperti.html

Bagaimana caranya investasi bila tak punya uang?

March 22, 2008
Bagaimana caranya investasi bila tak punya uang?

Membaca kembali buku Wink and Grow Rich tulisan Roger Hamilton (sudah ada terjemahnya) menyegarkan kembali ingatan akan prinsip-prinsip investasi. Buku ini menarik karena ditulis dalam bentuk cerita, seperti halnya buku klasik Who Moved My Cheese.

Saya ingin investasi, tapi, saya nggak punya uang. Gimana ya?

Begitulah pertanyaan kebanyakan orang. Demikian pula pertanyaan Richard, anak kecil yang ayahnya sedang sakit, dalam cerita itu. Pertanyaan itu dibahas dengan bijak oleh tokoh si Tukang Ledeng (the Plumber), seorang pengusaha yang bekerja dalam bisnis mengurus pipa air.

“Kalau tidak punya uang untuk diinvestasikan, maka investasikanlah waktumu,” demikian pesan si Plumber. Ibarat tetes air, maka setiap hari kita diberi bekal 24 tetes air untuk diinvestasikan. Kebanyakan tetes tersebut dibelanjakan (spent) saja, dan luput untuk diinvestasikan (invest).

Kebanyakan orang menghabiskan 24 jam setiap harinya untuk hal-hal berikut : tidur, makan, mandi, kerja, santai, dan ngobrol-ngobrol. Semua hal itu adalah waktu yang dibelanjakan. Loh, bukankah kerja menghasilkan uang? Ya, kerja memang menghasilkan uang. Namun waktu yang digunakan bekerja pada hakekatnya adalah waktu yang ditukarkan dengan uang. Sifatnya berjangka pendek. Pekerjaan beres, Anda dibayar. Selesai.

Orang-orang yang sukses sekarang ini, dulunya juga tidak punya uang seperti kebanyakan orang lainnya. Bedanya, mereka menginvestasikan waktunya, selain tentu ada yang dibelanjakan. Dimana mereka menginvestasikan waktu? Ada dua tempat, satu adalah untuk menjalin jaringan rekanan (network), dan ke dua untuk meningkatkan kemampuan diri (myself).

Bagi seorang pengusaha pemilik bisnis, kegiatan sehari-hari ibarat menginvestasikan waktu. Ketika dia menemui rekanan atau klien, dia sedang membangun network. Ketika dia mencari solusi masalah klien, dia sedang berinvestasi pada kemampuan diri.

Sebaliknya bagi karyawan, ketika dia mengerjakan tugas pekerjaan, sebenarnya dia hanya menukarkan tenaganya untuk bayaran di akhir bulan. Jadi ini hanya pertukaran. Orang yang ditemui ketika dia bekerja dalam tugas bukanlah network dia (tapi network perusahaan), jadi hal ini tidak disebut investasi.

Loh, bukankah ketika seorang karyawan mencari solusi buat klien itu juga berarti investasi? Ya benar, bila hal tersebut meningkatkan kemampuan diri. Tapi bisa juga tidak, bila kegiatan tersebut hanya untuk digunakan dalam jangka pendek.

Kunci membedakan apakah kegiatan kita merupakan investasi atau sekedar membelanjakan waktu adalah hasil jangka panjang. Kalau kegiatan itu memberikan manfaat jangka panjang, maka itu adalah investasi waktu. Kalau hasilnya hanya jangka pendek (tugas selesai lalu dibayar) maka itu hanyalah pembelanjaan waktu, yaitu pertukaran waktu kita dengan uang.


Bekerja sekaligus berinvestasi

Di setiap pekerjaan ada kesempatan berinvestasi waktu, yaitu ketika secara sadar kita memilih untuk membangun network dan kemampuan diri. Misalnya Anda hobi ngobrol-ngobrol. Kalau hanya ngobrol dengan teman yang itu-itu saja, juga dengan topik sekitar gosip artis saja, maka jelas itu sekedar membelanjakan waktu. Tapi kalau Anda ngobrol dengan orang-orang baru, maka Anda sedang berinvestasi dengan network Anda. Atau mungkin ngobrol dengan teman lama Anda, tapi ngobrol tentang peluang usaha baru, kesempatan kerjasama, atau ngobrol tentang ilmu yang bermanfaat buat mengelola keuangan keluarga Anda misalnya, maka itu adalah investasi waktu.

Saya ingat kisah Peter Lynch, manajer investasi di Fidelity Investment. Dia bercerita bahwa sewaktu mahasiswa dia mencari penghasilan dengan menjadi caddy golf (tukang bantu membawa tongkat golf). Waktu itu di tahun enam puluhan, dan sebagai caddy golf dia bertemu dengan para jutawan yang hobinya main golf. Para jutawan itu sering bicara tentang investasi, maka Peter pun mendapat info-info gratis yang berharga. Suatu ketika dia mendengar bahwa saham Tiger Airlines sedang mengalami peningkatan nilai. Maka dengan uang sekedarnya Peter ikut-ikutan membeli saham Tiger Airlines. Ternyata benar, saham Tiger Airlines naik cukup tinggi sehingga Peter pun mendapat keuntungan besar. Selepas kuliah Peter kemudian masuk ke perusahaan pialang saham, dan terus berkarir sehingga menjadi pemimpin di Fidelity Investment. Peter bekerja sambil berinvestasi waktu. Dia berinvestasi mendekati dunia kaum investor sehingga mendapat peluang dari network (tak langsung) tersebut.

Saya ingat juga kisah seorang teman saya. Dia rajin silaturrahmi menjalin network dengan banyak orang. Suatu ketika dia menghubungkan dua pihak untuk transaksi pembelian alat senilai sekitar 125 ribu dolar. Dia hanya menghubungkan saja tanpa berharap banyak transaksi tersebut terjadi. Eh, ternyata transaksi tersebut benar terjadi. Tiba-tiba dia diberi fee senilai 8000 dolar (kira-kira 70 juta rupiah). Saya kira bagi kebanyakan orang nilai tersebut diraih dengan berbulan-bulan (atau bertahun-tahun) menabung. Sedangkan teman saya meraihnya dalam beberapa jam menjadi pialang. Membangun network adalah bentuk investasi waktu yang sangat baik.

Demikian pula kisah seorang satpam di sebuah perusahaan minyak nasional. Sambil tugas malam, ketika rehat dari berkeliling, dia membuat corat-coret desain ukiran kayu semacam bebek-bebek kayu. Beberapa tahun kemudian dia mengundurkan diri setelah punya gift shop di Kemang dan Plaza Indonesia. Dia telah menginvestasikan waktu untuk kemampuan diri, sementara banyak rekan satpam lainnya hanya membelanjakan waktu untuk pertukaran dengan uang.

Sebuah kisah nyata yang lain. Seorang pengusaha membuka warung ‘sate banteng’, yaitu sate yang memakai daging sapi. Beberapa lama kemudian pemilik warung tidak lagi terlalu berminat untuk mengembangkan warung tersebut. Seorang karyawannya di bagian pembakar sate berminat dengan resep yang digunakan. Maka karyawan tadi kemudian mendirikan warung ‘sate banteng’ dan serius menekuninya. Ternyata laris manis. Warungnya berkembang makin besar, bahkan bisa diwariskan ke anaknya. Karyawan ini berhasil menginvestasikan waktunya untuk belajar membuat sate banteng yang enak. Ilmunya digunakan untuk membuat produk yang bernilai jual. Manfaat ilmunya dirasakan dalam jangka panjang sampai anak cucu.

Mari kita pikirkan sejenak. Dalam sehari ini, berapa jam telah kita investasikan untuk membangun network kita? Berapa jam pula telah kita investasikan untuk diri kita (meningkatkan kemampuan diri yang bernilai jual)? Nihil? Tidak sejam pun? Pantaslah kalau hidup kita tak maju-maju.

Waktu yang Anda pakai bekerja adalah waktu yang Anda belanjakan. Waktu yang Anda pakai untuk membangun network dan meningkatkan nilai jual diri, itulah waktu yang Anda investasikan.

Bagaimana dengan waktu Anda untuk membaca blog? Investasi atau belanja nih?
sumber http://sepia.blogsome.com/2008/03/22/bagaimana-caranya-investasi-bila-tak-punya-uang/

Kisah Sukses - Soichiro Honda

Kisah Sukses - Soichiro Honda
February 8th, 2009 SOICHIRO HONDA : “Lihat Kegagalan Saya”



Saat merintis bisnisnya Soichiro Honda selalu diliputi kegagalan. Ia sempat jatuh sakit, kehabisan uang, dikeluarkan dari kuliah. Namun ia trus bermimpi dan bermimpi…

Cobalah amati kendaraan yang melintasi jalan raya. Pasti, mata Anda selalu terbentur pada Honda, baik berupa mobil maupun motor. Merk kendaran ini menyesaki padatnya lalu lintas, sehingga layak dijuluki “raja jalanan”. Namun, pernahkah Anda tahu, sang pendiri “kerajaan” Honda - Soichiro Honda - diliputi kegagalan. Ia juga tidak menyandang gelar insinyur, lebih-lebih Profesor seperti halnya B.J. Habibie, mantan Presiden RI. Ia bukan siswa yang memiliki otak cemerlang. Di kelas, duduknya tidak pernah di depan, selalu menjauh dari pandangan guru. “Nilaikujelek di sekolah. Tapi saya tidak bersedih, karena dunia saya disekitar mesin, motor dan sepeda,” tutur tokoh ini, yang meninggal pada usia 84 tahun, setelah dirawat di RS Juntendo, Tokyo, akibat mengindap lever. Kecintaannya kepada mesin, mungkin ‘warisan’ dari ayahnya yang membuka bengkel reparasi pertanian, di dusun Kamyo, distrik Shizuko, Jepang Tengah, tempat kelahiran Soichiro Honda. Di bengkel, ayahnya memberi cathut (kakak tua) untuk mencabut paku. Ia juga sering bermain di tempat penggilingan padi melihat mesin diesel yang
menjadi motor penggeraknya.

Di situ, lelaki kelahiran 17 November 1906, ini dapat berdiam diri berjam-jam. Di usia 8tahun, ia mengayuh sepeda sejauh 10 mil, hanya ingin menyaksikan pesawat terbang.

Ternyata, minatnya pada mesin, tidak sia-sia. Ketika usianya 12 tahun, Honda berhasil menciptakan sebuah sepeda pancal dengan model rem kaki. Tapi, benaknya tidak bermimpi menjadi usahawan otomotif. Ia sadar berasal dari keluarga miskin. Apalagi fisiknya lemah, tidak tampan, sehingga membuatnya rendah diri.

Di usia 15 tahun, Honda hijrah ke Jepang, bekerja Hart Shokai Company. Bosnya, Saka Kibara, sangat senang melihat cara kerjanya. Honda teliti dan cekatan dalam soal mesin. Setiap suara yang mencurigakan, setiap oli yang bocor, tidak luput dari perhatiannya. Enam tahun bekerja disitu, menambah wawasannya tentang permesinan. Akhirnya, pada usia 21 tahun, bosnya mengusulkan membuka suatu kantor cabang di Hamamatsu. Tawaran ini tidak ditampiknya. Di Hamamatsu prestasi kerjanya tetap membaik. Ia selalu menerima reparasi yang ditolak oleh bengkel lain. Kerjanya pun cepat memperbaiki mobil pelanggan sehingga berjalan kembali. Karena itu, jam kerjanya larut malam, dan terkadang sampai subuh. Otak jeniusnya tetap kreatif. Pada zaman itu, jari-jari mobil terbuat dari kayu, hingga tidak baik meredam goncangan. Ia punya gagasan untuk menggantikan ruji-ruji itu dengan logam. Hasilnya luarbiasa. Ruji-ruji logamnya laku keras, dan diekspor ke seluruh dunia. Di usia 30, Honda menandatangani patennya yang pertama.

Setelah menciptakan ruji, Honda ingin melepaskan diri dari bosnya, membuat usaha bengkel sendiri. Ia mulai berpikir, spesialis apa yang dipilih? Otaknya tertuju kepada pembuatan Ring Pinston, yang dihasilkan oleh bengkelnya sendiri pada tahun 1938. Sayang, karyanya itu ditolak oleh Toyota, karena dianggap tidak memenuhi standar. Ring buatannya tidak lentur, dan tidak laku dijual. Ia ingat reaksi teman-temannya terhadap kegagalan itu. Mereka menyesalkan dirinya keluar dari bengkel.

Kuliah

Karena kegagalan itu, Honda jatuh sakit cukup serius. Dua bulankemudian, kesehatannya pulih kembali. Ia kembali memimpin bengkelnya. Tapi, soal Ring Pinston itu, belum juga ada solusinya. Demi mencari jawaban, ia kuliah lagi untuk menambah pengetahuannya tentang mesin. Siang hari, setelah pulang kuliah -pagi hari, ia langsung ke bengkel, mempraktekan pengetahuan yang baru diperoleh. Setelah dua tahun menjadi mahasiswa, ia akhirnya dikeluarkan karena jarang mengikuti kuliah. “Saya merasa sekarat, karena ketika lapar tidak diberi makan, melainkan dijejali penjelasan bertele-tele tentang hukum makanan dan pengaruhnya, ” ujar Honda, yang gandrung balap mobil. Kepada Rektornya, ia jelaskan maksudnya kuliah bukan mencari ijasah. Melainkan pengetahuan. Penjelasan ini justru dianggap penghinaan. Berkat kerja kerasnya, desain Ring Pinston-nya diterima. Pihak Toyota memberikan kontrak, sehingga Honda berniat mendirikan pabrik. Eh malangnya, niatan itu kandas. Jepang, karena siap perang, tidak memberikan dana. Ia pun tidak kehabisan akal mengumpulkan modal dari sekelompok orang untuk mendirikan pabrik. Lagi-lagi musibah datang. Setelah perang meletus, pabriknya terbakar dua kali. Namun, Honda tidak patah semangat. Ia bergegas mengumpulkan karyawannya. Mereka diperintahkan mengambil sisa kaleng bensol yang dibuang oleh kapal Amerika Serikat, digunakan sebagai bahan mendirikan pabrik. Tanpa diduga, gempa bumi meletus menghancurkan pabriknya, sehingga diputuskan menjual pabrik Ring Pinstonnya ke Toyota. Setelah itu, Honda mencoba beberapa usaha lain. Sayang semuanya gagal.

Akhirnya, tahun 1947, setelah perang Jepang kekurangan bensin. Di sini kondisi ekonomi Jepang porak-poranda. Sampai-sampai Honda tidak dapat menjual mobilnya untuk membeli makanan bagi keluarganya. Dalam keadaan terdesak, ia memasang motor kecil pada sepeda.

Siapa sangka, “sepeda motor” - cikal bakal lahirnya mobil Honda -itu diminati oleh para tetangga. Mereka berbondong-bondong memesan, sehingga Honda kehabisan stok. Disinilah, Honda kembali mendirikan pabrik motor. Sejak itu, kesuksesan tak pernah lepas dari tangannya. Motor Honda berikut mobinya, menjadi “raja” jalanan dunia, termasuk Indonesia. Bagi Honda, janganlah melihat keberhasilan dalam menggeluti industri otomotif. Tapi lihatlah kegagalan-kegagalan yang dialaminya.

“Orang melihat kesuksesan saya hanya satu persen. Tapi, mereka tidak melihat 99% kegagalan saya”, tuturnya. Ia memberikan petuah ketika Anda mengalami kegagalan, yaitu mulailah bermimpi, mimpikanlah mimpi baru.

Kisah Honda ini, adalah contoh bahwa Suskes itu bisa diraih seseorang dengan modal seadanya, tidak pintar di sekolah, ataupun berasal dari keluarga miskin.


5 Resep keberhasilan Honda :

1.Selalulah berambisi dan berjiwa muda.
2.Hargailah teori yang sehat, temukan gagasan baru, khususkan waktu memperbaiki produksi.
3.Senangilah pekerjaan Anda dan usahakan buat kondisi kerja Anda senyaman mungkin.
4.Carilah irama kerja yang lancar dan harmonis.
5.Selalu ingat pentingnya penelitian dan kerja sama.
Sumber : wangun.wapath.com