Kamis, 06 Agustus 2009

Riset-sebagai-ladang-bisnis

Entrepreneurship, Inspirasi


Posted ons February 1, 2009 |

Oleh: Hasanudin Abdurakhman, Direktur PT Osimo Indonesia

Ada satu kesamaan antara pekerjaan saya sebagai peneliti di Jepang dulu dengan pekerjaan sebagai pengelola perusahaan saat ini, yaitu bahwa saya selalu berhubungan dengan pemasok (supplier). Interaksi saat itu bila saya pandang dari sudut pandang saya saat ini sebagai seorang pengelola bisnis membawa saya pada kesimpulan bahwa dunia riset adalah pasar yang cukup menggiurkan bagi beberapa bisnis.

Pasokan bagi dunia riset cukup beragam. Yang umum adalah alat tulis kantor, komputer dan produk yang berhubungan dengannya, jasa (perjalanan, medical, dan lain-lain). Sedangkan kebutuhan khususnya meliputi berbagai jenis instrumen dan bahan baku penelitian. Dua hal terakhir ini mendominasi alokasi belanja di dunia riset.

Barang-barang untuk kebutuhan riset umumnya mahal. Saya pernah belanja aksesori untuk eksperimen optik berupa lensa, filter, dan barang-barang sejenis itu. Dengan dana JPY 500.000 (sekitar 50 juta rupiah dengan kurs sekarang) saya hanya mendapat satu karton (sebesar karton Indomie) peralatan. Itu belum seberapa. Ketika melakukan riset tentang struktur DNA saya membeli sampel DNA alami seharga JPY 10.000 (1 juta rupiah) per gram. Sedangkan untuk sampel DNA sintetik harganya adalah JPY 10.000 per milligram, atau JPY 10 juta (1 milyar rupiah) per gram! Sampel ini diproduksi oleh Amersham Bioscience sebuah perusahaan yang sekarang sudah diakuisisi oleh General Electric.

Ada setidaknya dua alasan kenapa produk-produk saintifik berharga mahal. Pertama, produk-produk ini dibuat dengan teknologi tinggi dan teknik yang sangat spesifik. Kedua, pangsa pasarnya sangat sempit dibandingkan misalnya consumers good, sehingga tidak bisa diproduksi secara sangat missal.

Tapi dua hal itu bagi saya sudah menjadi semacam mitos. Tidak semua produk saintifik itu demikian spesifik teknik pembuatannya, sangat tinggi teknologinya. Ada sebuah gelas dewar, semacam termos untuk menyimpan nitrogen cair untuk mendinginkan sampel pada saat pengukuran dalam eksperimen saya dulu yang harganya sangat mahal. Padahal strukturnya tidak berbeda dengan gelas sejenis yang dibuat di workshop di kampus. Gelas ini mahal karena ia adalah aksesori dari sebuah alat ukur yang memang spesifik teknik pembuatannya.

Sementara itu, pangsa pasar untuk produk saintifik memang terbatas. Namun pada saat yang sama, produsen yang bermain di dunia ini juga sedikit. Artinya rasio antara permintaan dan penawaran tidak sangat jauh berbeda dengan produk-produk lain.

Selain soal mitos tadi, perngguna produk saintifik khususnya untuk keperluan riset tidak terlalu cerewet soal harga. Ini tentu sangat berbeda dengan pengguna di kalangan industri. Di industri kita terbiasa ditekan untuk cost down. Sementara di riset, tekanan itu tidak ada. Kita nyaris tidak pernah ditanya, berapa ongkos yang dihabiskan untuk menghasilkan produk berupa data eksperimen atau prototype. Atmosfer psikologisnya adalah “getting something at whatever cost”.

Selain itu, proyek-proyek penelitian adalah proyek untuk menghabiskan anggaran, bukan proyek untuk menghasilkan profit. Di ujung tahun anggaran biasanya peneliti berlomba menghabiskan dana, agar dana yang sudah diterima habis terpakai. Kalau tidak, nanti akan ada pemotongan anggaran pada tahun berikutnya. Karena itu pada masa ini mereka belanja tanpa terlalu hirau dengan soal harga.

Semua yang saya tulis di atas berdasar atas pengalaman saya sebagai peneliti di Jepang, sebuah negara maju dengan aktivitas penelitian berintensitas tinggi. Saya tidak begitu mengenal dunia riset di Indonesia, sehingga tidak bisa menjamin apakah situasi, dan tentu saja peluangnya, persis sama. Namun secara alami seharusnya ada beberapa kesamaan yang bisa dijadikan titik pangkal untuk memicu sebuah bisnis baru.

Di luar soal potensi bisnis yang menarik itu, kejelian melihat dunia riset sebagai ladang bisnis perlu kita cermati dalam konteks enterpremeurship. Dunia riset bukanlah dunia yang mudah dilihat oleh orang awam. Hanya orang-orang yang bersinggungan dengan dunia inilah yang bisa melihat kebutuhannya. Selain itu, produksi barang-barang kebutuhan dunia ini memerlukan know how yang sangat spesifik. Coba bayangkan. Berapa dari kita yang punya akses ke informasi mengenai berapa besar kebutuhan nitrogen cair di Indonesia, dan berapa yang tahu seluk beluk teknis serta biaya produksinya? Kebanyakan dari kita malah mungkin belum pernah mendengar istilah nitrogen cair.

Salah satu yang punya akses ke informasi tersebut adalah para peneliti sendiri. Sayangnya secara umum para peneliti tidak punya bakat bisnis atau tidak berminat pada dunia ini. Penemu produk-produk sains banyak yang puas dengan hidup dari royalty atas temuannya. Jarang ada peneliti yang mampu mengantarkan sendiri temuannya hingga menjadi produk bisnis. Salah satu contoh suksesnya adalah Stephen Wolfram.

Salah satu perusahaan Jepang terkemuka yang inti bisnisnya adalah produk-produk untuk keperluan riset adalah Shimazu Corporation. Seorang karyawannya, yaitu Koichi Tanaka (kebetulan lulusan Tohoku University, almamater saya) mendapat hadiah Nobel Kimia tahun 2002 atas jasanya mengembangkan sistem spektroskopi massa.

Perusahaan ini didirikan tahun 1875 oleh Genzo Shimadzu. Ia berasal dari keluarga bisnis yang memproduksi alat-alat untuk keperluan sembahyang agama Budha. Ia memulai bisnis dengan membuat alat-alat peraga mata pelajaran sains bagi sekolah-sekolah. Sebelum mulai bisnis ini ada semacam regulasi pemerintah yang mengharuskan penggunaan alat peraga serta praktikum di laboratorium dalam pelajaran sains. Namun pada praktiknya hal itu tidak terlaksana di sekolah-sekolah, sehingga bisnis Shimadzu pada awalnya bukanlah bisnis yang cerah. Tapi dia percaya pada satu hal, bahwa Jepang yang miskin sumber daya alam harus mampu mengembangkan sains dan teknologi untuk bisa bertahan di masa depan. Kepercayaan itu yang membuat ia bertahan pada masa-masa sulit.

Dalam masa sulit itu ia mendapat pekerjaan tambahan dari Kyoto Prefectural Physics and Chemistry Research Institute untuk memperbaiki alat-alat eksperimen yang ketika itu adalah barang impor. Kesempatan ini justru membuka peluang bagi Shimadzu untuk bersinggungan lebih jauh dengan dunia riset berikut know how dalam memperoduksi alatnya. Ini kemudian mengantarkannya untuk terlibat pada pengudaraan balon berawak pertama di tahun 1877. Kisah lengkap mengenai Genzo Shimadzu beserta Shimadzu Corporation dapat disimak di sini.


Kisah sukses Genzo Shimadzu ini memberi saya (mudah-mudahan para pembaca juga) beberapa pelajaran. Pertama, tidak perlu terjebak pada problem 9 titik bahwa hanya saintis yang mampu memahami kebutuhan dunia riset. Kedua, Indonesia saat ini memang bukan negara maju dalam riset. Namun ini tidak berarti peluang untuk menjadikan dunia riset sebagai lahan bisnis lantas sama sekali nol. Shimadzu memulai usahanya saat dunia riset Jepang jauh di bawah level Indonesia saat ini. Ketiga, Shimadzu berbisnis dengan sebuah kepercayaan akan masa depan. Ia tak hanya mengikuti perkembangan trend. Tapi ia turut merekayasa trend masa depan menuju situasi yang menguntungkan bagi bisnisnya.


Catatan:

Hasanudin Abdurakhman adalah mantan peneliti yang mengaku baru belajar di dunia bisnis, dan belum mampu pindah kuadran menjadi pengusaha.

Tulisan ini dipersembahkan khusus untuk Sudutpandang.com

Lebih lengkapnya di SINI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar